Pembuatan tekstur tanah dan pengambilan sampel uji awal, salah satu tahapan pada proses bioremediasi Chevron.

Pembuatan tekstur tanah dan pengambilan sampel uji awal, salah satu tahapan pada proses bioremediasi Chevron.

Hanya beberapa jam setelah forum itu dituntaskan, guguran abu vulkanik Gunung Kelud menyelimuti Kota Jogja. Warnanya yang kelabu, seolah mewakili kegelisahan hati para pendekar hukum, yang baru saja menggelar eksaminasi, di salah satu kampus tertua di kota itu.

“Saya baru menyelesaikan penulisan kembali butir-butir kesimpulannya. Baru bisa keluar lagi sejak berakhirnya forum eksaminasi. Abunya tebal sekali,” tutur Mudzakkir melalui sambungan telepon pada Selasa malam, 18 Februari 2014.

Doktor hukum pidana Unversitas Islam Indonesia (UII) Yogyakarta ini, adalah salah satu penggagas digelarnya forum “Eksaminasi Putusan Pengadilan Mengenai Penerapan Undang-Undang (UU) Nomor 31 Tahun 1999 Yang Telah Diubah Dengan UU Nomor 20 Tahun 2001 Tentang Terhadap Tindak Pidana di Bidang Lingkungan Hidup”. UII menjadi penyelenggara forum tersebut.

Puluhan guru besar dan ahli hukum dari berbagai perguruan tinggi, juga praktisi hukum, hakim, polisi, dan jaksa, turut hadir menyumbangkan pikiran, dalam forum yang formalnya digelar selama dua hari, Rabu – Kamis, 12 – 13 Februari 2014. Namun karena dirasa pembahasan belum tuntas, forum itu berlanjut hingga Jumat malam. Paginya, Gunung Kelud bergolak. Abunya dibawa angin sampai ke Jogja. “Saya terjebak tidak bisa pulang ke Jakarta,” tutur seorang praktisi hukum yang hadir di forum itu.

Karena yang menjadi contoh kasus adalah putusan kasus bioremediasi, forum itu kemudian lebih dikenal sebagai forum eksaminasi putusan kasus bioremediasi. Mudzakkir mengaku, forum itu amat penting digelar, karena dalam penanganan kasus dugaan korupsi dalam proyek bioremediasi, berlangsung penerapan hukum yang tidak standar, tidak sesuai dengan hukum positif di Indonesia, baik dari segi substansi maupun prosedur penegakan hukumnya.

Kasus bioremediasi sendiri telah menjerat empat karyawan PT Chevron Pacific Indonesia dan dua kontraktornya. Mereka dituding bersekongkol dalam proyek bioremediasi (proyek pembersihan lingkungan dari limbah minyak menggunakan mikroba) sehingga merugikan keuangan negara.

Hakim tetap memvonis mereka bersalah, meski para pejabat Kementerian Lingkungan Hidup (KLH) sudah menyatakan pelaksanaan proyek itu taat aturan dan sukses. Bukti suksesnya adalah anugerah PROPER Biru pada lokasi operasi Chevron yang dibersihkan dengan teknologi bioremediasi. Cost recovery atau pengembalian biaya proyek oleh pemerintah juga belum dilakukan, tapi empat karyawan Chevron dan dua kontraktornya sudah harus menyandang gelar koruptor.       

Mudzakkir menilai, munculnya kasus bioremediasi merupakan akibat dari kewenangan aparat penegak hukum yang terlalu over (berlebihan, red) dan tanpa kontrol. “Ada kekeliruan mendasar dalam menyusun dan menerapkan UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor). Yakni pembentukan UU itu hanya dilandasi oleh semangat gerakan anti korupsi, tanpa diikuti semangat untuk membuat aturan yang benar dan adil,” jelas Mudzakkir.

Karena semangatnya anti korupsi, kata Mudzakkir, maka sesuatu yang bukan korupsi pun dikategorikan korupsi oleh aparat penegak hukum. Padahal, seandainya benar ada persoalan dalam proyek bioremediasi, maka kasusnya adalah kasus lingkungan hidup, bukan tindak pidana korupsi. Ini bisa dilihat dari pasal 14 UU Tipikor yang mengatur hal-hal apa saja yang dapat dikategorikan korupsi.

Ditahan Tanpa Keterangan

Apa yang terjadi pada para terpidana kasus bioremediasi memang membuat miris. Mereka, para karyawan Chevron yakni Endah Rumbiyanti, Kukuh Kertasafari, Widodo, dan Bachtiar Abdul Fatah, serta dua pimpinan perusahaan kontraktor bioremediasi Chevron, Ricksy Prematuri dan Herland bin Ompo, sampai sekarang masih bingung, mengapa mereka dituduh korupsi.

Empat karyawan Chevron itu bukanlah penanggung jawab langsung proyek itu. Mereka punya atasan bahkan Presiden Direktur, yang sampai sekarang tidak tersentuh sama sekali. Para atasan pun tidak pernah mempermasalahkan kinerja mereka. Demikian pula dua kontraktor Chevron, hanya menjalankan rencana kerja yang diberikan Chevron.

Lebih miris lagi jika mengikuti detik-detik mereka dinyatakan sebagai tersangka dan ditahan. Endah Rumbiyanti misalnya. Manajer Lingkungan Chevron ini hanya diminta oleh bosnya untuk datang ke Kejaksaan Agung guna menjelaskan seluk beluk penerepan bioremediasi di perusahaan minyak dan gas (migas) itu. Namun di akhir penjelasan, ia diminta menandatangani BAP (Berita Acara Pemeriksaan) dan langsung ditahan.

Tak kurang miris kisah Bachtiar Abdul Fatah. Rumahnya tiba-tiba dikepung oleh belasan jaksa pada suatu pagi di bulan Juni 2013, dan di hadapan anak istrinya ia langsung dibawa untuk dijebloskan ke tahanan. Padahal Bachtiar mengantongi Putusan Praperadilan berkekuatan hukum tetap dari Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, yang menyatakan dirinya tidak bersalah dalam kasus bioremediasi. Namun Kejaksaan Agung berdalih mengantongi surat dari Mahkamah Agung (MA). Belakangan diketahui surat MA yang dimaksud, hanya surat internal, bukan fatwa yang bisa membatalkan putusan pengadilan.

Pakar hukum Makmum Hakim Nasution pun mengaku ngeri melihat perjalanan kasus bioremediasi ini. Hakim yang sempat dihadirkan ke persidangan bioremedisi untuk memberikan keterangan sebagai ahli, merasakan betul ada yang tidak beres dalam penanganan kasus itu.

“Sejak awal memeriksa kasus ini, aparat penegak hukum sudah terlihat ingin menghukum para terdakwa bioremediasi. Bukan hanya jaksanya, tetapi juga hakimnya. Ini saya rasakan saat menjadi saksi ahli di persidangan bioremediasi. Dari lontaran pertanyaan-pertanyaan para hakim, terkesan vonis yang akan dijatuhkan sudah tergambar di sini,” ungkap Hakim sembari menunjuk kepalanya. 

Menurut Hakim, sebenarnya sudah jelas bahwa bioremediasi ini adalah kegiatan yang bersifat perdata. Kalau toh ada pejabat negara dalam hal ini SKK Migas, dalam konteks kontrak kerjasama migas, lembaga ini menjalankan fungsi keperdataan. “Saya terangkan kepada hakim bahwa pejabat negara itu bisa menjalankan fungsi publik atau fungsi perdata sesuai konteksnya. Namun hakim seolah mendorong saya untuk membenarkan bahwa bioremediasi ini masuk ranah hukum publik,” ungkapnya.

UU Lingkungan Diabaikan

Dalam paparannya pada forum eksaminasi di UII, Makmum Hakim Nasution kembali menerangkan konstruksi hukum, yang mestinya dikenakan dalam kasus bioremediasi. Dimana bioremediasi berlangsung dibawah payung Kontrak Kerjasama Migas atau PSC (Production Sharing Contract).

Dalam PSC, pemerintah sendiri ikut menyepakati bahwa bila ada persoalan, maka penyelesaiannya secara perdata melalui arbitrase. Lebih jauh lagi, kemungkinan ada kurangnya penerimaan negara, biaya yang terlalu tinggi, produksi yang turun, dan sebagainya, mestinya dipandang sebagai risiko bisnis. Ada penyelesaiannya melalui penghitungan kembali under atau over lifting (kekurangan atau kelebihan penyetoran minyak bagian negara). Namun ini terkesan tidak dipertimbangkan jaksa dan hakim.  

Doktor hukum lingkungan dari Universitas Parahyangan Bandung, Asep Warlan Yusuf pun angkat bicara dalam forum eksaminasi itu. Menurutnya, UU Lingkungan harus menjadi acuan terlebih dahulu, sebelum menentukan kasus bioremediasi ini sebagai kasus korupsi. Dalam hal ini, penyidik KLH harus turun dulu membuktikan adanya pelanggaran UU Lingkungan, baru kemudian dinilai, ada korupsinya atau tidak. 

“Jadi seharusnya ada koordinasi. Ketika ada instansi lain, kepolisian maupun kejaksaan, seharusnya berkoordinasi dulu dengan KLH. Dalam penanganan kasus bioremediasi ini, tidak ada koordinasi. Jadi seharusnya proses peradilannya tidak sah. ,” tukas Asep.

Pakar hukum lain, Doktor Arief Setiawan menilai, permasalahan muncul ketika hukum pidana lingkungan, melompat menjadi hukum tindak pidana korupsi. “Bagaimana terjadi lompatan begitu? UU Lingkungan pun sama sekali tidak dimuat dalam putusan. Konstruksi murni langsung kepada delik korupsi. Awal mula perbuatan ini kan terkait dengan konsekuensi yang muncul dalam UU Lingkungan. Tapi ini diabaikan,” tandasnya.  

Arief juga berpendapat, dalam seluruh putusan bioremediasi, hakim cenderung hanya mempertimbangkan pendapat ahli yang ditunjuk Kejaksaan Agung, Edison Effendi. “Saya melihat hakim cenderung mengabaikan bukti-bukti yang diajukan oleh terdakwa. Kecenderungan hakim mengambil yang bisa dipakai untuk membuktikan dakwaan,” ungkapnya.  

Edison Effendi sendiri diketahui, adalah orang yang pernah berkali-kali kalah dalam tender bioremediasi Chevron. Bahkan beberapa karyawan Chevron bersaksi, Edison pernah mengancam akan balas dendam, karena kalah lagi dalam tender bioremediasi. Pasca ancaman itu, kasus bioremediasi pun bergulir di Kejaksaan Agung, dan Edison kembali hadir sebagai saksi sekaligus ahli, yang seluruh keterangannya dijadikan dasar membuat dakwaan dan pembuktian oleh jaksa di pengadilan.

Bisnis Berbuah Korupsi

Rentetan hubungan antara Edison dan kasus bioremediasi ini, mengingatkan pada kasus yang menimpa Indosat IM2. Pimpinan perusahaan itu dijerat korupsi, atas laporan dan kesaksian seseorang yang sebelumnya kalah tender. Menariknya, dua kasus itu sama-sama bergulir di Kejaksaan Agung. Kasus bioremediasi juga mengingatkan pada tuduhan korupsi pada Direktur Utama Merpati, Hotasi Nababan. Dimana sebuah risiko bisnis dikategorikan sebagai korupsi. Yang mendakwa juga Kejaksaan Agung.

Guru besar hukum pidana, Prof DR Romli Atamasasmita, SH, LLM pun menilai, hal ini terjadi karena aparat penegak hukum, baik jaksa, hakim, bahkan pengacara, tidak mau menengok pasal 14 UU Tipikor, yang memberikan rambu-rambu guna membatasi lingkup perbuatan yang bisa dikategorikan korupsi. “Jadi tidak semua perbuatan yang menimbulkan kerugian negara termasuk korupsi,” ujar penyusun UU Tipikor ini.

Terlebih dalam konteks korporasi, kata Romli, dugaan kerugian negara yang terjadi pada aktivitas Perseroan Terbatas (PT) tidak bisa buru-buru disebut korupsi. Karena korupsi timbul, jika semua unsurnya terpenuhi, yakni adanya penyalahgunaan wewenang selaku pejabat pemerintah, ada perbuatan melawan hukum, dan ada kerugian negara. Ketiganya harus terpenuhi secara komulatif.

“Tidak bisa hanya ada kerugian negara, lalu sebuah korporasi atau PT disebut melakukan korupsi. Bisa saja penggelapan, pemalsuan dokumen, atau yang lainnya. UU Tipikor memang lex specialist, namun bukan untuk memotong lex generali-nya. Kalau bukan korupsi, jangan dipaksakan, cacat jadinya. Bakal lebih banyak mudharat (keburukan)-nya ketimbang maslahat (kebaikan)-nya,” tegas Romli.

Romli mengaku sudah meneliti kasus bioremediasi yang diadili di Pengadilan Tipikor Jakarta. Intinya ada kontrak yang tidak diawasi, lalu dikaitkan dengan cost recovery, sehingga dianggap dapat merugikan keuangan negara. “Ini mutlak mal-administrasi, paling banter perdata (mengembalikan kerugian negara) dan bukan pidana korupsi. Mal-administrasi tidak sama dengan melawan hukum,” tegasnya lagi.

Ditemui dalam kesempatan berbeda, Mudzakkir tak menampik, apa yang terjadi pada para terpidana kasus bioremediasi, Indosat, dan Merpati ini, mengingatkan pada pengenaan tindak pidana subversi, di era Orde Baru dulu. Pasal subversi seolah menjadi keranjang sampah, untuk memenjarakan orang. Bedanya kalau dulu yang melakukan penguasa, korbannya orang-orang yang tidak disukai Orde Baru. Tapi kali ini, pelakunya adalah orang-orang  yang  kalah tender, korbannya para karyawan tak berdosa.

(Abraham Lagaligo / abrahamlagaligo@gmail.com)