JAKARTA – Pemerintah saat ini fokus mengembangkan energi baru, namun belum termasuk energi nuklir. Pengembangan pembangkit listrik tenaga nuklir (PLTN) di Indonesia masih menunggu momentum yang tepat.

“Saya pikir sekarang bukan waktu yang tepat buat Indonesia, mungkin di masa mendatang,” ujar Ignasius Jonan, Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral di Jakarta.

Rida Mulyana, Direktur Jenderal Energi Baru Terbarukan dan Konservasi Energi Kementerian ESDM, mengatakan ada dua persyaratan yang harus dipenuhi sebelum Indonesia mengembangkan PLTN skala besar.

“Paling tidak Pak Menteri berupaya untuk comply terhadap kebijakan. Ada dua persyaratan yang harus dipenuhi, pertama dukungan masyarakat, selama ini resistensi dari masyarakat masih tinggi, kemudian kedua political will,”ujarnya.

Menurut Rida, dua persuaratan ini harus dipenuhi oleh Badan Tenaga Atom Nasional (BATAN).

Political will kan tergantung syarat yang pertama itu. Kalau masyarakatnya menolak, percuma juga. Jadi lihat dulu tingkat penerimaan masyarakat, kalau mulus diterima bisa langsung digongkan,” kata dia.

BATAN sebelumnya menyatakan sebanyak 77,53 persen penduduk Indonesia menyatakan dukungan terhadap pembangunan PLTN. Hal ini terungkap dalam survei dilakukan pada periode Oktober 2016 – Desember 2016 dengan membagikan kuesioner kepada 4.000 responden di 34 provinsi.

Djarot Sulistio Wisnubroto, Kepala Batan, mengatakan pelaksanaan survei penerimaan masyarakat terhadap pemanfaatan ilmu pengetahuan dan teknologi (iptek) nuklir secara nasional telah dimulai sejak 2011 dan hasilnya cenderung naik.

“Status PLTN saat ini masih menunggu keputusan politik. Tidak ada target khusus tahun ini tentang PLTN, hanya menjaga kemampuan SDM dan fokus pada reaktor riset,” kata Djarot.

Dia menguraikan perolehan hasil survei penerimaan masyarakat terhadap rencana pembangunan PLTN pada 2011 sebesar 49,5 persen, 2012 (52,9 persen), 2013 (64,1 persen), 2014 (72 persen), dan 2015 (75,3 persen).(RI)