Kawasan Industri MedanJAKARTA – Ramadan dan Lebaran Idul Fitri 2013 ini tampaknya harus dihadapi oleh ratusan pekerja di Medan, Sumatera Utara dengan situasi yang lebih sulit. Akibat krisis gas yang terjadi di kota itu dalam  dua bulan belakangan ini, sedikitnya sembilan perusahaan memilih tutup karena tidak bisa beroperasi, dan melakukan PHK (Pemutusan Hubungan Kerja) terhadap ratusan karyawannya.

Head of Corporate Secretary PT PGN (Persero) Tbk, Ridha Ababil mengakui, krisis gas di Medan saat ini sudah memasuki kondisi yang sangat parah. Pelaku industri pelanggan gas PGN, banyak yang kolaps menghadapi situasi itu.

“Medan sudah dua bulan (Juni – Juli 2013) mengalami krisis gas. Dari sekitar 50-an pelanggan kami, delapan sampai sembilan diantaranya sudah gulung tikar alias tutup, ratusan karyawannya di-PHK, menyusul terhentinya operasi perusahaan akibat tidak mendapatkan gas,” tukasnya saat ditemui di Jakarta, Rabu, 24 Juli 2013.  

Diakui oleh Ridha, tidak sinkronnya antara pasokan dan infrastruktur membuat kondisi gas di Medan terpuruk. Padahal PGN mempunyai infrastruktur di sana, yakni pipa gas sepanjang 600 kilometer, namun jumlah gas yang bisa dijual ke pelanggan di Medan cuma 7 juta kaki kubik.

Kondisi ini, kata Ridha, sebenarnya sudah diprediksi PGN sejak 5 – 6 tahun lalu. Karena Medan tidak mempunyai sumber daya gas sendiri, maka harus didatangkan dari luar dalam bentuk LNG. Maka dari itu, sudah sempat direncanakan pembangunan fasilitas Floating Storage Regasification Unit (RSFU) atau fasilitas terapung regasifikasi LNG di Medan. Namun entah mengapa, pemerintah mengalihkan pembangunan RSFU itu ke Lampung. Akibatnya, Medan tidak mendapatkan gas.

Kondisi memang cukup ironis, mengingat Sumatera merupakan salah satu pulau yang banyak mengandung sumber daya gas bumi. Puluhan kontraktor kontrak kerjsama (KKKS) migas beroperasi di sana terutama Sumatera Selatan untuk memproduksi gas, namun tidak bisa dialirkan ke Sumatera Utara terutama ke Medan.

Pasokan Tidak Jelas

Menurut Ridha, persoalan awalnya adalah tidak adanya infrastruktur berupa jalur pipa, yang dapat men-transport gas dari belahan wilayah lain di Sumatera ke Medan. Maka dari itu, PGN sempat merencanakan pembangunan jalur pipa “Duri – Dumai – Medan Project”. Namun proyek itu tak kunjung dapat dilaksanakan, karena belum jelas pasokan gasnya dari mana.

Memang, ucap Ridha, ada potensi pasokan dari dari salah satu KKKS migas di Sumatera, yang jumlah produksinya cukup besar. Namun produksi gas dari KKKS itu, sudah terlanjur dialokasikan untuk mensuplai negara tetangga Singapura.

Ekspor gas ke Singapura dianggap lebih menarik, karena harganya USD 17 per MMBTU. Sedangkan untuk dalam negeri hanya USD 5 – 6 per MMBTU. Gas dari ConocoPhillips ke Chevron di Duri (gas swap) pun sejauh ini diprioritaskan untuk mendorong produksi minyak.

“PGN tidak mungkin memulai “Duri – Dumai – Medan Projest” tanpa adanya kepastian pasokan gas. Kalau pipa sudah terbangun, apa yang mau disalurkan? Harus ada kontrak gas dalam jangka panjang dengan volume 200 – 300 juta kaki kubik, baru bisa proyek itu dimulai,” tandasnya.

Kalah Dengan Malaysia

Sejauh ini, kata Ridha, upaya konkrit untuk mengatasi krisis gas di Medan, masih menemui jalan buntu. PGN sendiri, terangnya, akan tetap mempertahankan pasarnya di Medan, yang telah dibentuk sejak lama dengan pembangunan jalur pipa sepanjang 600 kilometer.

Sementara anak perusahaan yang dibentuk PGN, yakni PT Transportasi Gas Indonesia, sudah dipatok tugasnya untuk menyalurkan gas dari Duri, Riau, ke Singapura. Sedihnya lagi, kata Ridha, akibat tidak memperoleh pasokan gas yang memadai, berbagai barang produksi dari Medan dilibas oleh barang-barang produksi industri Malaysia.

Kalangan industri di Medan, ungkapnya, harus membeli gas dengan harga USD 10 per MMBTU. Sedangkan industri di Malaysia mendapatkan harga gas hanya USD 4,5 per MMBTU karena harga gasnya disubsidi. “Kalau sudah begitu, mana mungkin industri kita bersaing dengan Malaysia?,” ucapnya.

(Abraham Lagaligo / abrahamlagaligo@gmail.com)