JAKARTA-PT Kaltim Prima Coal (KPC) dan PT Arutmin Indonesia, dua anak usaha PT Bumi Resources Tbk (BUMI), emiten pertambangan dengan produksi terbesar di Tanah Air, terus menggenjot produksi tambang batubara pada sisa tujuh bulan 2018.

Bumi menargetkan tahun ini produksi dan penjualan mencapai 92 juta ton, sebanyak 32 juta ton dikontriusi oleh Arutmin dan 60 juta ton oleh KPC. Proyeksi produksi itu naik 9,25% dari realisasi 2017 sebesar 84 juta to (year-on-year) dan 2016 sebesar 87,7 juta ton.

“Produksi secara konsolidasi bisa meningkat karena Arutmin berencana menghasilkan 4juta–5 juta ton baru bara kalori tinggi perdana untuk pasar ekspor,” ujar Dileep Srivastava, Direktur dan Sekretaris Perusahaan Bumi Resources di Jakarta, baru-baru ini.

Dileep mengatakan, untuk meningkatkan kinerja operasional, kedua anak usahanya mengalokasikan belanja modal sekitar US$50-US$60 juta. Pendanaan berasal dari kas internal.

Sepanjang kuartal I 2018, Bumi memproduksi batubara 20,5 juta ton, terdiri atas 12,9 juta tond ari tambang KPC dan 7,6 juta ton dari Arutmin. Realisasi produksi ini naik dibandingkan periode sama tahun lalu. Saat itu, KPC mencatatkan produksi 14,1 juta ton dan Arutmin 6,1 juta ton.

Laporan keterbukaan informasi Bumi Resources yang dirilis belum lama ini menyebutkan, dari sisi penjualan batubara, kedua anak usaha Bumi berbeda. Penjualan KPC pada periode Januari-Maret 2018 sebesar 13,6 juta ton, turun dari 14,2 juta ton. Sementara penjualan Arutmin tercatat 7,8 juta ton, naik dari 6,8 juta ton (year-on-year) dengan harga jual rata-rata naik 11% dari US$63,7 per ton menjadi US$ 70,7 per ton.

Dileep Srivastava, Direktur dan Sekretaris Perusahaan Bumi Resources. (foto: doumentasi Bumi)

Pendapatan keduanya juga berbeda signifikan. Pada periode Januari-Maret 2018, KPC membukukan pendapatan US$ 974,5 juta, naik 7% dari US$ 912 juta (year-on-year). Sedangkan net profit naik 20% dari US$ 119,4 juta menjadi US$ 143,7 juta.

Sementara itu, Arutmin mencatatkan kenaikan pendapatan 26% menjadi US$309,6 juta dari US$244,8 juta (year-on-year). Adapun net gain naik 197% dari rugi US$73,6 juta menjadi untung US$71,1 juta.

Menurut Dileep, rerata harga batu bara global pada 2018 dapat meningkat 5% dibandingkan tahun sebelumnya seiring dengan tingginya permintaan China dan India, serta berkurangnya pasokan dari sejumlah negara produsen utama.

Kondisi defisit pasar global yang menyebabkan kenaikan harga komoditas dapat berlangsung sampai 2-3 tahun ke depan. “Rerata harga batu bara tahun ini diperkirakan berada di kisaran US$85–US$100 per ton,” ujarnya. (DR)