Pembuatan tekstur tanah dan pengambilan sampel uji awal, salah satu tahapan pada proses bioremediasi Chevron.

Pembuatan tekstur tanah dan pengambilan sampel uji awal, salah satu tahapan pada proses bioremediasi Chevron.

JAKARTA – Hingga akhir pekan ini, Majelis Hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta Pusat, telah memutus bersalah dan menjatuhkan pidana pada tiga karyawan PT Chevron Pacific Indonesia dalam kasus bioremediasi. Wakil rakyat menilai, vonis ini muncul karena penegak hukum baik jaksa maupun hakim, tidak paham tentang industri minyak dan gas bumi (migas).

Anggota Komisi VII Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Totok Daryanto mengaku menyesalkan keluarnya vonis tersebut. Menurutnya, bioremediasi atau pembersihan limbah bekas minyak pada industri migas, adalah teknologi yang tergolong baru di Indonesia. Mestinya, untuk menangani perkara ini, jaksa dan hakim tidak hanya menggunakan pendekatan hukum, melainkan menggunakan pendekatan ilmiah.

Seharusnya, kata Totok, hakim memanggil para pakar migas dan pakar bioremediasi dari berbagai perguruan tinggi, untuk menjelaskan teknologi itu. Pendapat para pakar inilah yang mestinya dijadikan dasar membuat putusan. Namun berita yang ia dapatkan, justru pendapat para pakar diabaikan, dan penegak hukum hanya merujuk pendapat ahli kejaksaan agung yang diduga sarat konflik kepentingan.

Disamping itu, lanjutnya, vonis ini membuktikan bahwa hakim sebenarnya tidak paham, tentang industri migas yang dinaungi Production Sharing Contract (PSC). PSC adalah kontrak perdata, yang penyelesian sengketa di dalamnya, tidak seharusnya dibawa ke ranah pidana.

“Dengan kenyataan ini, kami akan meminta SKK Migas (Satuan Kerja Khusus Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi) untuk memberikan sosialisasi dan pemahaman secara lebih intensif kepada aparat penegak hukum, tentang seperti apa industri migas berlangsung di negara kita,” tukas wakil rakyat dari Partai Amanat Nasional (PAN) ini pada Jumat, 19 Juli 2013.

Hal senada juga diungkapkan Wakil Ketua Komisi III DPR, Tjatur Sapto Edi dan anggota Komisi III DPR dari Fraksi Partai Keadilan Sejahtera (PKS) Adang Daradjatun. Keduanya menilai, terseretnya kasus bioremediasi ke pengadilan korupsi, akibat adanya kesenjangan antara pengetahuan para penegak hukum dengan profesionalisme serta teknologi yang berkembang di lapangan.

“Saya banyak pelajari kasus bioremediasi ini, banyak kejanggalan dan dari sisi hukumnya lemah. Program ini diputuskan SKK Migas, tidak berdiri sendiri. Kalau yang menguasai teknis sih paham, seperti SKK Migas, Kementerian Lingkungan Hidup, dan sebagainya. Yang repot kan yang punya kuasa menegakkan hukum ini tidak mengerti,” ujar Tjatur.

Tjatur mengaku, kasus bioremediasi ini merupakan pekerjaan rumah besar Komisi III DPR. Kalau pembahasannya tidak tuntas, dikhawatirkan muncul kasus-kasus baru lagi yang sama. “Ini karena perkembangan teknologi dan teknis di lapangan, tidak terjangkau oleh aparat penegak hukum. Penegakan hukum itu harus berlandaskan profesionalisme, harus  scientific. Yang scientific itu kan yang menguasai ahlinya, bukan para penegak hukum itu,” tandasnya.  

Sebelumnya, Anggota Komisi VII dan Fraksi Partai Golkar, Satya Widya Yudha juga menilai, tidak seharusnya perkara yang muncul dari proyek bioremediasi Chevron ini, dibawa ke ranah pidana, terlebih dengan tuduhan korupsi.  Karena dalam PSC migas, sudah jelas mekanisme penyelesaiannya, jika diduga ada kelebihan atau kekurangan pembayaran cost recovery (biaya operasi migas yang dapat diganti).

Dalam PSC, kata Satya, ada mekanisme over and under lifting (kelebihan dan kekurangan “pembayaran” minyak jatah pemerintah, red).  Kalau ada temuan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) tentang biaya operasi yang diduga terlalu mahal, mekanisme itulah yang digunakan untuk menjaga penerimaan negara. Sesuai PSC, setiap proyek hulu migas termasuk bioremediasi baru bisa dilaksanakan jika ada persetujuan SKK Migas. “Jadi bukan para karyawan Chevron itu yang mestinya dipidana,” jelasnya.         

Karyawan Chevron Tak Bersalah

Pada hari yang sama, Presiden Direktur PT Chevron Pacific Indonesia, A Hamid Batubara dan Managing Director Chevron Indonesia, Jeff Shellebarger, menyampaikan pernyataan bersama menanggapi putusan Pengadilan Tipikor Jakarta Pusat atas ketiga karyawannya, Kukuh Kertasafari, Endah Rumbiyanti, dan Widodo yang divonis bersalah dalam kasus bioremediasi.

“Kami menghormati lembaga peradilan Indonesia dan telah mengikuti proses hukum ini. Ketiga karyawan kami tidak terbukti melakukan pelanggaran hukum. Namun kami sangat kecewa atas putusan pengadilan yang menyatakan bahwa mereka bersalah, telah menyalahgunakan wewenang. Padahal proyek ini sudah dikerjaan sesuai peraturan dan dinyatakan taat hukum oleh Kementerian Lingkungan Hidup,” ujar Hamid Batubara dan Jeff Shellebarger di Jakarta, Jumat, 19 Juli 2013.

Mereka juga mengaku, percaya bahwa karyawannya tidak bersalah atas dakwaan yang disampaikan jaksa penuntut umum. “Kami akan sepenuhnya mendukung para karyawan kami dalam proses hukum, untuk memulihkan nama mereka. Kami meminta pihak berwenang menindaklanjuti laporan Komisi Nasional Hak Asasi Manusia yang menyatakan adanya pelanggaran HAM oleh jaksa dalam kasus ini,” tegas keduanya.

Hamid dan Jeff Shellebarger menuturkan, selama persidangan berlangsung para pejabat pemerintah dari lembaga yang berwenang, telah bersaksi bahwa program bioremediasi Chevron telah memiliki izin yang sah, dan beroperasi sesuai dengan peraturan dan kebijakan pemerintah yang berlaku.

“Pengadilan pun telah mendengar kesaksian dari pejabat SKK Migas, Kementerian Lingkungan Hidup (KLH) dan Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) yang menegaskan bahwa operasi proyek bioremediasi adalah sah dan dibawah pengawasan pemerintah,” tambahnya.

Disamping itu, putusan pra peradilan pun sebelumnya telah membebaskan para karyawan Chevron yang ditetapkan sebagai tersangka kasus bioremediasi dari tahanan, karena tidak adanya bukti-bukti yang cukup. “Kami juga tidak jelas, mengapa karyawan ini dijadikan tersangka dan didakwa atas pekerjaan mereka, padahal proyek ini melibatkan ratusan orang. Bahkan salah satu karyawan yang didakwa tidak berada di Indonesia pada saat proyek yang diduga bermasalah ini dikerjakan,” tandas mereka.

Sejauh ini, kata Hamid, SKK Migas juga telah menyatakan secara terbuka bahwa Chevron masih membiayai sepenuhnya proyek bioremediasi ini, dan belum ada penggantian dari Pemerintah Indonesia. Oleh karena itu tidak ada kerugian negara terkait proyek ini.

“Lebih lanjut SKK Migas secara terbuka menyatakan bahwa kasus ini seharusnya diselesaikan dalam ranah hukum perdata seperti yang tertuang dalam kesepakatan PSC/Kontrak Kerja Sama,” kata Hamid dan Shellebarger. Namun herannya, pengadilan tetap memutuskan melanjutkan mengadili kasus ini dalam ranah hukum tindak pidana korupsi.

(Abraham Lagaligo / abrahamlagaligo@gmail.com)