JAKARTA – Mekanisme penetapan harga Bahan Bakar Minyak (BBM) yang didistribusikan PT Vivo Energy Indonesia dinilai menyalahi mekanisme penetapan harga yang tercantum dalam kebijakan  yang diatur  pemerintah. Pasalnya, harga BBM dengan research octane number (RON) rendah tidak boleh diserahkan kepada mekanisme  pasar.

Satya W Yudha, Wakil Ketua Komisi VII DPR, menegaskan sudah ada kesepakatan antara DPR dan pemerintah bahwa penetapan BBM beroktan rendah yang memiliki RON 88 harus dengan ketetapan dan persetujuan dari pemerintah.

“Kalau Vivo samakan klasifikasi BBM dengan Premium, maka dia harus gunakan mekanisme perhitungan pemerintah. Berbeda kalau menggunakan RON diluar ketentuan pemerintah,  dia boleh gunakan mekanisme pasar. Celakanya sekarang perbedaan RON juga cuma satu, 88 ke 89,” kata Satya kepada Dunia Energi, Senin (30/10).

Saat ini Vivo telah mengoperasikan SPBU di Cilangkap, Jakarta Timur dengan menawarkan tiga varian BBM yakni Revvo 89, 90 dan 92. Untuk Revvo 89 dibanderol dengan harga Rp 6.100 per liter atau lebih murah dari Premium yang harganya diatur oleh pemerintah sebesar  Rp 6.450 per liter.

Menurut Satya,  jika dibiarkan terus maka nantinya masyarakat yang  menanggung. Bisa saja Vivo menaikkan harga BBM beroktan rendah tersebut tanpa persetujuan dari pemerintah.

Dia pun menegaskan dalam amanat Undang-Undang Migas, hal itu sudah diatur bahwa dilarang  membiarkan penetapan harga BBM dilepaskan kepada mekanisme pasar.

“Kebetulan saja sekarang harganya sekarang lebih murah,  kalau suatu saat harganya lebih mahal sementara dia itu BBM beroktan rendah maka dia menyalahi peraturan pemerintah. Harganya tidak boleh masuk dalam mekanisme harga pasar,” tegas dia.

Selain itu, pemberian izin kepada Vivo membuat komitmen pemerintah terhadap Paris Agreement untuk beralih bahan bakar yang lebih ramah terhadap lingkungan seperti Bahan Bakar Gas (BBG) ataupun BBM dengan kualitas Euro lebih tinggi tentu dipertanyakan.

“Itu juga menjadi kontradiksi dengan penandatanganan Paris Agreement kan kita inginkan BBM diubah jadi BBG atau kita pertahankan BBM kita bikin Euro sampai 4 atau 5,” ungkap Satya.

Pemerintah sebelumnya meyakini bahwa penyediaan dan pendistribusian BBM oleh Vivo Energy sebagai Badan Usaha pemegang Izin Usaha Niaga Umum BBM tidak bertentangan dengan regulasi yang ada dalam hal ini Perpres 191 Tahun 2014.

Dadan Kusdiana,  Kepala Biro Komunikasi, Layanan Informasi Publik, dan Kerja Sama Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), mengatakan pemerintah melihat masih dibutuhkannya jenis BBM RON 88 oleh masyarakat menengah ke bawah (angkutan kota dan sejenisnya).

“Sehingga pemerintah masih tetap perlu menugaskan Badan Usaha Pemegang Izin Usaha Niaga Umum untuk menyediakan jenis BBM tersebut,” ungkap Dadan dalam keterangan tertulisnya, Sabtu (28/10).

Menurut Dadan, penjualan BBM RON 89 telah sesuai dengan spesifikasi yang ditetapkan Direktorat Jenderal Migas Kementerian ESDM untuk BBM RON 88 sebagai persyaratan minimal.

Untuk konteks anggapan perlakuan ketidakadilan terhadap PT Pertamina (Persero), Kementerian  ESDM beralasan pemerintah berkewajiban untuk memenuhi kebutuhan BBM di seluruh Indonesia.

“Pemerintah dalam memberikan penugasan telah memperhitungkan kemampuan Pertamina sebagai BUMN, yang tujuan akhirnya adalah tercapainya pemenuhan kebutuhan masyarakat terhadap BBM Satu Harga,” ungkap Dadan.

Menurut Dadan, pemerintah juga telah dan dalam waktu dekat akan memberikan penugasan kepada Badan Usaha lain pemegang Izin Usaha Niaga BBM.

“Termasuk Vivo Energy Indonesia, bukan hanya di Jawa tapi juga wilayah NKRI termasuk daerah 3T (tertinggal, terdepan dan terluar),” kata Dadan.(RI)