JAKARTA – Pemerintah diminta untuk tidak menjadikan perundingan dengan PT Freeport Indonesia sebagai alat untuk mendongkrak popularitas. Masyarakat harus diberikan informasi yang jelas dan akurat terkait progress perundingan tersebut.

Harry Poernomo, Anggota Komisi VII DPR, mengatakan klaim kesepakatan antara pemerintah dan Freeport yang selama ini dinyatakan oleh pemerintah hingga sekarang tidak terbukti, pasalnya perundingan masih berlangsung bahkan diperpanjang karena melewati target yang seharusnya bisa selesai pada 10 Oktober. Ditunjukkan dengan diperpanjangnya Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK) sementara hingga Januari 2018.

“Semua belum jelas. Apa yang pemerintah klaim sudah ada kesepakatan sejak awal saya katakan masih semu, sekarang terbukti bahwa semuanya memang belum ada kesepakatan,” kata Harry kepada Dunia Energi, Rabu (11/10).

Dalam klaim yang disampaikan pemerintaj pihak Freeport sudah berkpmitmen untuk melakukan divestasi hingga mencapai 51% selain itu akan patuh terhadap regulasi perpajakan serta membangun fasilitas pengolahan dan pemurnian konsentrat atau smelter sebagai syarat perusahaan berstatus IUPK. Izin ekspor pun diberikan pemerintah sejalan dengan komitmen pembangunan smelter.

Namun demikian pembangunan smelter yang diklaim sudah pasti dibangun Freeport hingga kini tidak ada progress atau kemajuan. Padahal pembangunan smelter merupakan amanat Undang-Undang No. 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara.

Anggota Komisi VII DPR lainnya, Eni Maulani Saragih, mengatakan kunjungan kerja pernah dilakukan ke bakal ke lokasi smelter di Gresik, Jawa Timur. Serta melakukan dialog dengan Freeport, namun fakta yang terungkap belum ada kepastian lokasi smelter.

“Freeport belum menentukan lokasi pembangunan, apakah di Petrokimia atau JIIPE (Java Integrated Industrial and Port Estate) Gresik. Jadi belum ada progress,” tegas Eni.

Dia pun menantikan penjelasan lengkap dari Kementerian ESDM soal pembangunan smelter. Freeport beralasan akan kembali menggarap proyek smelter jika sudah ada kepastian perpanjangan operasi pasca 2021.

“Kita berharap ada kejelasan tentang smelter ini dengan terang benderang setelah kesepakatan antara pemerintah dan Freeport selesai,” kata Eni.

Bambang Gatot Ariyono Direktur Jenderal Mineral dan Batubara Kementerian ESDM, mengakui sejauh ini ada dua lokasi smelter yang menjadi pertimbangan Freeport, tanpa menyebut lokasi pasti.

“Lokasi itu sudah hampir ada kepastian, yaitu di Gresik. Gresik itu bisa di Petrokimia atau yang satunya di JIIPE. Itu kemungkinan karena integrated dari industri yang ada di situ,” ungkap dia.

Bambang mengatakan saat ini proses perpanjangan kerja sama penggunaan lokasi antara Petrokimia Gresik dengan Freeport sedang diurus. Selain itu, Petrokimia sedang melakukan studi analisis dampak lingkungan (amdal) smelter. Disisi lain, Freeport telah melakukan studi tekno-ekonomi yang bekerjasama dengan Mitsubishi serta early work and basic engineering untuk smelter tembaga.

“Dalam membangun smelter tidak sekaligus mengkonstruksi, tapi melakukan studi-studi,” kata dia.

Menurut Bambang, pembangunan smelter mulai dikerjakan setelah ada kepastian perpanjangan operasi. Hal ini lantaran Freeport sudah ada komitmen perjanjian atau kontrak pembangunan dengan total US$ 1,3 miliar dari nilai investasi US$ 2,3 miliar.

“Jadi kalau lihat dari komitmen, saya kira mereka selesai dengan negosiasi, karena memang harus menjadi paket perpanjangan. Saya kira mereka akan membuat (membangun smelter), kalau ini bisa selesai negosiasinya,” kata Bambang.

Negosiasi penyusunan lampiran IUPK sudah berlangsung sejak Februari 2017 silam dengan tenggat waktu 10 Oktober. Namun masa perundingan itu diperpanjang tiga bulan lantaran belum tercapai kesepakatan terkait divestasi 51% saham dan peningkatan penerimaan negara. Dua poin negosiasi yang telah disepakati yakni perpanjangan operasi bertahap 2×10 tahun hingga 2041 dan pembangunan smelter harus rampung paling lambat di 2022.(RI)