JAKARTA – Asosiasi Produsen Listrik Swasta Indonesia (APLSI) berharap iklim investasi yang memberikan kemudahan-kemudahan sehingga bisa mendukung program pemerintah.

Ali Herman, Ketua Umum APLSI, mengatakan pengembangan energi dan sumber daya secara umum dan industri ketenagalistrikan secara khusus memegang peranan besar dalam pertumbuhan suatu negara.

“Memang sangat diharapkan adanya perubahan. Kalau ada permen yang berpotensi menghambat, seperti Permen 10/2017, nantinya tidak akan ada daya tarik bagi investor,” kata Ali di Jakarta.

Hal senada disampaikan Arthur Simatupang, Ketua Harian APLSI. Dia menekankan pemerintah sebaiknya mengikutsertakan pelaku usaha dalam perumusan kebijakan.

“Kalau ada kebijakan baru, sebaiknya disosialiasikan. Jangan sifatnya menghambat,” kata Arthur.

Menurut Agus Triboeseno, Sekretaris Ditjen Ketenagalistrikan Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), Peraturan Menteri (Permen) Nomor 10 Tahun 2017 tentang Pokok-Pokok Dalam Perjanjian Jual Beli Tenaga Listrik dibuat sebagai rambu-rambu dalam penyusunan kontrak pengembangan kelistrikan. Hal ini dalam upaya mendapatkan investor yang sungguh-sungguh ingin mengembangkan proyek kelistrikan.

“Karena banyak investor yang hanya mengandalkan kertas. Permen 10/2017 tidak menghambat, hanya dibuat rambu-rambu oleh pemerintah,” ungkap dia.

Agus menegaskan Permen 10 tidak serta merta menggeser risiko ke pihak produsen listrik swasta (Independent Power Producer/IPP). Di samping itu, jika diperlukan pemerintah siap menjadi fasilitator antara pihak IPP dengan PT PLN (Persero).

“Risiko 50:50, dibagi-bagi. Kalau perlu diubah (Permen 10) silahkan diusulkan. Tapi harus sampaikan alasannya,” kata Agus.

Survei APLSI bekerja sama dengan Pricewaterhouse (PwC) Indonesia menunjukkan adanya sejumlah tantangan sektor ketenagalistrikan Indonesia. Para responden survei, terdiri dari jajaran direksi sejumlah IPP, menyampaikan tantangan terbesar yakni ketidakpastian regulasi, kurangnya koordinasi di antara Kementerian/Lembaga pemerintah lainnya, dan pengelolaan program 35 gigawatt (GW).

Para responden berpandangan bahwa apabila pendongkrak kebijakan seperti perbaikan alokasi risiko, dalam Perjanjian Jual Beli Tenaga Listrik (Power Purchase Agreements/PJBL) diterapkan, maka hal ini dapat mendukung elektrifikasi dan keandalan pasokan listrik.

Survei juga menunjukkan sebanyak 67% responden mengkhawatirkan tentang ketersediaan pasokan listrik untuk lima tahun ke depan. Kekhawatiran ini konsisten dengan pertanyaan-pertanyaan seputar ketepatan waktu pelaksanaan rencana program 35 GW.

Hambatan lain yang menjadi kekhawatiran industri adalah potensi kurangnya tenaga kerja terampil di sektor ketenagalistrikan.

Arthur berharap agar laporan survei tersebut dapat menjadi masukan bagi pengembangan sektor ketenagalistrikan.

“Kami melihat bahwa masih banyak perbaikan yang perlu dilakukan untuk mempercepat perkembangan elektrifikasi di Indonesia untuk menjangkau mayoritas penduduk di seluruh nusantara,” tandas Arthur.(RA)