JAKARTA – Rencana divestasi saham PT Freeport Indonesia hingga mencapai 51% berpotensi kembali terhambat perjanjian antara Freeport-McMoRan Inc, induk usaha Freeport Indonesia dengan Rio Tinto, perusahaan tambang asal Australia.

Perjanjian tersebut memberikan hak memiliki 40% hasil produksi tambang Grasberg yang dikelola Freeport Indonesia setelah 2021.

Fajar Harry Sampurno, Deputi Bidang Pertambangan, Industri Strategis, dan Media Kementerian BUMN, mengatakan dari sisi pemerintah persiapan divestasi tetap, namun saat ini Freeport juga masih membahas kesepakatan yang mereka buat dengan Rio Tinto.
Perjanjian Freeport-Rio Tinto disepakati pada medio 1990-an mengenai pendanaan, dan kemudian membagi keuntungan dengan metal strip dan lain lain.
“Itu sangat teknis dan detail, dan sekarang ini lagi dibahas dengan Freeport,” ungkap Fajar di Jakarta, akhir pekan lalu.
Seiring kesepakatan dua perusahaan tersebut,  operasional Tambang Grasberg, Papua  terbagi dalam dua pemegang kendali 40% milik Rio Tinto dan 60% milik Freeport.
“Nah apakah 40% dikonversi jadi saham dulu, atau bisa diambil sebelumnya?  Apakah Inalum (Holding BUMN Pertambangan) yang akan ambil dulu?” kata Fajar.
Pemerintah tidak akan mencampuri pembahasan antara Rio Tinto dan Freeport. Namun divestasi 51% Freeport tetap menjadi hal yang tidak bisa ditawar.
Pemerintah terlebih dulu akan mengalihkan 9,36% saham Freeport yang dikuasai pemerintah  untuk dinbrengkan ke PT Indonesia Asahan Aluminium (Inalum) sebagai induk dari hidung BUMN tambang.
“Tapi 51% sudah pasti, bentuknya seperti apa yang masih dibicarakan. Kita selamatkan saat ini 9,36%, (saham pemerintah) diinbrengkan, dialihkan dan diserahkan ke holding BUMN tambang,” kata Fajar.(RI)