JAKARTA – Merealisasikan kewajiban divestasi saham perusahaan-perusahaan tambang asing, khususnya bagi perusahaan pemegang kontrak karya dinilai kajian mendalam. Pasalnya, kebutuhan dana yang diperlukan tidak sekadar untuk melaksanakan divestasi, namun juga kebutuhan dana untuk ekspansi ke depan.

Martiono Hadianto, Ketua Umum Indonesia Mining Association (IMA), mengatakan kewajiban divestasi 51% saham perusahaan tambang asing jangan hanya berhenti soal divestasi.

“Jadi ada yang namanya hak dan kewajiban. Setelah mendivestasi tentu harus siap mengeluarkan dana untuk kebutuhan ekspansi,” kata dia di Jakarta, Kamis.

Menurut Martiono yang juga mantan Presiden Direktur PT Newmont Nusa Tenggara, investasi untuk ekspansi jangka panjang perusahaan tambang pemegang kontrak karya, seperti Newmont maupun PT Freeport Indonesia membutuhkan biaya yang sangat besar. Bahkan kebutuhan investasinya bisa mencapai miliar dolar Amerika Serikat.

Pemerintah dan Nusa Tenggara Partnership BV, pemegang saham mayoritas Newmont, telah menandatangani perjanjian jual beli atau (sales purchase agreement/SPA) 7% saham dari total 51% saham yang harus didivestasi Newmont Nusa Tenggara pada Mei 2011. Namun SPA yang telah diperpanjang hingga tujuh kali tersebut hingga kini tidak kunjung terealisasi.

Disisi lain, pemerintah hingga saat ini belum merevisi Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 77 Tahun 2014 tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan Batu Bara (Minerba). Salah satu pasal dalam PP tersebut mengatur tentang kebijakan divestasi perusahaan tambang.

Pasal 97 menyebutkan perusahaan tambang pemegang Izin Usaha Pertambangan (IUP) Operasi Produksi dan IUPK Operasi Produksi dalam rangka penanaman modal asing, setelah lima tahun sejak berproduksi wajib melakukan divestasi saham secara bertahap.

Sementara itu, pada pasal 112, bagi pemegang kontrak karya dan perusahaan perjanjian karya pengusahaan pertambangan batu bara yang ditandatangani sebelum diundangkannya Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun 2010 yang kemudian direvisi menjadi PP 77, dinyatakan tetap berlaku hingga jangka waktunya berakhir.

Selain Newmont, saham Freeport juga akan segera didivestasi secara bertahap hingga mencapai 30%.

Bambang Gatot Ariyono, Direktur Jenderal Mineral dan Batu Bara Kementerian ESDM, mengatakan divestasi saham Freeport akan dilakukan 14 Oktober 2015. Pemerintah memiliki waktu 90 hari untuk negosiasi, setelah menerima penawaran saham perusahaan yang mengelola tambang emas dan tembaga Grasberg di Papua tersebut.

“Freeport 14 Oktober nanti memberikan penawaran. Setelah pemerintah menerima penawaran, pemerintah punya waktu 90 hari untuk negosiasi. Setelah ketemu kesepakatan harga, Kementerian ESDM menyampaikan ke Kementerian Keuangan. Kemenkeu baru bisa menunjuk sesuai prioritas. IPO (initial public offering) belum ada dasarnya, kecuali nanti diubah,” tutur dia.

Kepastian Usaha

Martiono mengatakan pelaku usaha menyambut positif rencana pemerintah merevisi Peraturan Pemerintah Nomor 77 Tahun Tahun 2014 tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan Batu Bara (Minerba). Langkah merevisi kebijakan di sektor mineral dan batu bara dinilai menjadi upaya pemerintah dalam meningkatkan investasi.

“Kami dari dunia usaha sangat menyambut baik. Kami berharap hal itu bisa segera terlaksana,” kata dia.

Menurut Martiono, saat ini seluruh dunia tengah mengalami kondisi yang sama, yakni melambatnya perekonomian. Setiap negara memiliki kebijakan sendiri-sendiri dalam merespon kondisi yang terjadi saat ini.

“Yang harus dilakukan pemerintah adalah menciptakan kebijakan yang kondusif. Karena kebijakan-kebijakan yang ada saat ini belum kurang kondusif untuk mendukung iklim usaha dan investasi,” ungkap dia.

Martiono mengatakan pemerintah harus segera menerbitkan peraturan-peraturan yang akan direvisi dan tidak terlalu lama mewacanakanya. Pasalnya, para pejabat pemerintahan akan bekerja sesuai peraturan yang ada.
Revisi kebijakan di sektor mineral dan batu bara menjadi suatu keharusan pada saat ini untuk memberikan kepastian berusaha bagi pelaku usaha.

“Coba dilihat saat ini. Ada satu undang-undang, sementara PP (peraturan pemerintah)-nya ada empat. Padahal normalnya satu UU, satu PP. Artinya apa, pemerintah dalam mengintepretasikan UU tidak firm,” ungkap dia.

Martiono mengatakan banyaknya peraturan pemerintah yang diterbitkan membuat pelaku usaha bingung karena tidak ada kepastian dalam berusaha.(AT)