JAKARTA – Kebijakan pembatasan impor dari China, salah satu konsumen utama batu bara dunia, diproyeksi tidak berpengaruh signifikan terhadap penjualan ekspor PT Adaro Energy Tbk (ADRO). Strategi yang tepat membuat Adaro tidak terpengaruh terhadap kebijakan tersebut.

“Untuk Adaro, kami tidak terlalu berdampak karena sudah dari jauh-jauh hari mendiversifikasi pasar. Jadi ke China penjualan kami itu less than 10%, jadi tidak terlalu impact,” kata Garibaldi di Jakarta, Rabu (3/10).

Batu bara produksi Adaro telah dipasarkan ke 17 negara.

Tidak hanya di China, batu bara Adaro setidaknya menjangkau 17 negara. Namun, sebagian besar pasokan batu bara Adaro diserap pasar domestik, khususnya untuk memasok kebutuhan pembangkit listrik PT PLN (Persero). “Paling besar ke domestik, mungkin hampir 30% ke domestik,” tukas Garibaldi.

Tujuan pemasaran batu bara Adaro, selain China adalah Malaysia, Hongkong, Korea Selatan, Jepang, India, Filipina, Vietnam dan juga Amerika Serikat.

Hingga akhir 2018, Adaro menargetkan produksi mencapai 56 juta ton. Hingga semester I, realisasi produksi batu bara sebesar 24,06 juta ton, turun 4% dibanding periode yang sama tahun lalu. Untuk volume penjualan turun 6% menjadi 23,8 juta ton pada semester I 2018.
Kondisi cuaca menjadi salah satu faktor yang menekan kinerja operasional Adaro hingga semester I 2018. Untungnya harga komoditas batu bara pada tahun ini sedang tinggi sehingga tidak berdampak ke kinerja keuangan.

Pendapatan usaha Adaro pada periode Januari-Juni 2018 mencapai US$1,6 miliar, naik 3,84% dibanding periode sama tahun lalu sebesar US$1,55 miliar. Penjualan batu bara memberi kontribusi US$1,5 miliar atau sekitar 92% dari total pendapatan Adaro. Pendapatan dari penjualan batu bara mencakup, US$1,2 miliar dari pasar ekspor dan US$281,4 juta dari pasar domestik.

Menurut Garibaldi, Adaro tidak ada niat menambah produksi, meskipun harga batu bara masih diatas kisaran US$100 per ton. Pasalnya, tidak ada yang bisa memastikan harga tersebut akan bertahan lama, potensi anjloknya harga batu bara juga masih mengintai.
Untuk itu strategi perusahaan membagi risiko usaha dengan tidak mengandalkan satu pasar.

“Strategi kami tidak hanya tergantung pada pasar, jadi risk-nya juga dibagi-bagi, sehingga kita bisa me-manage harga jual yang tiba-tiba drop ya kami ada yang long term, jadi overall masih sesuai dengan guidance,” kata Garibaldi.(RI)