Hakim Slamet Subagyo.

Hakim Slamet Subagyo.

JAKARTA – Sidang putusan kasus bioremediasi PT Chevron Pacific Indonesia (CPI) di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta kembali diwarnai dissenting opinion (pendapat berbeda). Kali ini, dalam sidang putusan dengan terdakwa Bachtiar Abdul Fatah pada Kamis, 17 Oktober 2013, Hakim Anggota II, Slamet Subagyo menyatakan terdakwa tidak terbukti bersalah sehingga harus dibebaskan dari dakwaan primair maupun subsidair.

Pernyataan Slamet Subagyo ini berbeda dengan pendapat Hakim Ketua, Antonius Widijantono dan Hakim Anggota I, Anas Mustakim. Menurut Hakim Slamet, terdakwa tidak terbukti secara sah dan meyakinkan melakukan tindak pidana korupsi, sebagaimana didakwakan Jaksa Penuntut Umum (JPU) dalam dakwaan primair, yang menyatakan terdakwa melanggar Pasal 2 Undang-Undang (UU) Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tipikor.

Menurut Hakim Slamet, terdakwa juga tidak terbukti secara sah dan meyakinkan melanggar Pasal 55 ayat 1 ke-1, tentang secara bersama-sama melakukan penyalahgunaan wewenang yang dapat merugikan keuangan negara. Dengan demikian, dakwaan subsidair JPU terhadap Bachtiar Abdul Fatah juga tidak terbukti.  “Oleh karenanya Terdakwa harus dibebaskan dari seluruh tuntutan JPU,” ujarnya.

Dalam pertimbangannya, Hakim Slamet menerangkan bahwa dari fakta-fakta hukum yang terungkap di persidangan, tidak ditemukan alasan yang menjadi dasar yuridis dakwaan JPU terhadap Bachtiar Abdul Fatah. Dimana jabatan terdakwa sebagai GM SLS tidak terkait dengan kegiatan bioremediasi CPI, dan tidak ada korelasi antara kontrak bridging dengan peranan terdakwa sebagai GM SLS.

“Penandatanganan kontrak dilakukan Terdakwa dengan POA (Power of Authority) yang menurut Prof Laicha Marzuki adalah suatu mandat perintah jabatan. Sedangkan kewenangan kembali kepada si pemberi mandat itu sendiri,” jelas Hakim Slamet. Seperti terungkap dalam persidangan sebelumnya, Bachtiar mengaku tindakannya menandatangi kontrak bioremediasi merupakan kuasa dari Presiden Direktur PT CPI, dan GM SLS bukan penanggung jawab proyek bioremediasi CPI.

Diterangkan pula oleh Hakim Slamet, terdakwa tidak bisa dimintai pertanggungjawaban atas kontrak bridging yang ditandatanganinya kurang dari enam hari sebelum pindah penugasan ke Jakarta pada September 2011. Hal ini diterangkan saksi Wahyu Budiarto dan dikuatkan oleh pengakuan Terdakwa sendiri. “Tanda tangan efektif berlaku minimal enam hari sejak ditandatangani,” terang Hakim Slamet.

Hakim Slamet juga menyatakan, tidak sependapat jika disebutkan terdakwa bersalah karena secara sadar mengetahui PT CPI sudah tidak memiliki izin pengelolaan limbah. Karena meski izin itu sudah habis masa berlakunya pada 2008, namun PT CPI telah mengajukan perpanjangan, dan mendapat perintah sesuai Keputusan Menteri Lingkungan Hidup (Kepmen LH) Nomor 258A, untuk melanjutkan bioremediasi selama proses perpanjangan izin berlangsung, hingga tanah benar-benar bersih.

Hal ini terungkap berdasarkan kesaksian  dibawah sumpah Masnellyarti Hilman selaku Deputi IV Kementerian Lingkungan Hidup (KLH) bahwa dengan terbitnya Kepmen LH No 258 A, kegiatan bioremediasi tetap bisa dilaksanakan apabila secara teknis terpenuhi meskipun secara administrasi belum terpenuhi. Masnellyarti juga menyebutkan, PT CPI dapat menyerahkan pengolahan limbah kepada pihak lain tanpa perlu izin lagi selama masih berada di dalam pengawasan PT CPI. Soal izin ini pun tegas diatur dalam Kepmen LH Nomor 128 Tahun 2003.

“Berdasarkan Saksi Wirjono Koesmodiharjo dan Prof Laica Marzuki, perpanjangan izin bukanlah tindakan melawan hukum. Maka dari itu, disimpulkan bahwa pengelolaan tanah tidak bertentangan dengan Kepmen LH 128/2003. Terdakwa selaku pemegang mandat hanya melaksanakan POA dan Terdakwa tidak memiliki tanggung jawab akan izin, sehingga surat dakwaan harus ditolak,” kata Hakim Slamet.

Alat Bukti Tak Bisa Digunakan

Terkait alat bukti berupa sample tanah yang digunakan JPU, menurut Hakim Slamet tidak bisa digunakan untuk mendakwa bahwa proyek bioremediasi CPI nihil alias fiktif. Karena pengambilan serta pengujian sample itu tidak mengikuti kaidah serta aturan yang berlaku di Indonesia. Ditambah pula pengujian sample tanah itu tidak dilakukan di laboratorium yang terakreditasi sebagaimana disyaratkan oleh kaidah ilmiah serta hukum positif yang berlaku di Indonesia.

Hakim Slamet juga menyatakan, dakwaan JPU bahwa Bachtiar dan Herlan bin Ompo secara bersama-sama melakukan perbuatan yang merugikan keuangan negara juga tidak terbukti. Karena terungkap di persidangan bahwa Terdakwa dan Herland bin Ompo tidak pernah saling mengenal dan penandatanganan semata-mata terjadi karena adanya POA terhadap Terdakwa selaku GM SLS.

“Menimbang, karena semua unsur dalam dakwaan primair dan subsidair tidak terbukti, maka Terdakwa harus dibebaskan dari kedua dakwaan tersebut,” ucap Hakim Slamet. Namun karena tidak ditemukan kata mufakat, dimana Hakim Ketua dan Hakim Anggota I tetap menyatakan Bachtiar bersalah sesuai dakwaan subsidair JPU, maka putusan diambil dengan suara terbanyak. Dua lawan satu, Bachtiar pun divonis hukuman penjara 2 tahun serta denda Rp 200 juta subsidair 3 bulan kurungan.

 (Abraham Lagaligo / abrahamlagaligo@gmail.com)