Perlu optimalisasi pengembangan energi panas bumi

Perlu optimalisasi pengembangan energi panas bumi

JAKARTA– Pemanfaatan energi baru terbarukan di Indonesia, khususnya panas bumi, masih sangat minim. Dwi Soetjipto, Direktur Utama PT Pertamina (Persero),  mengatakan sudah seharusnya pemanfaatan energi ramah lingkungan tersebut bisa lebih maksimal untuk memperkuat struktur energi di Tanah Air.

“Pemanfaatan panas bumi saat ini kurang dari 5%. Sementara 95% lainnya belum termanfaatkan secara optimal,” ujar Dwi.

Menurut Dwi, optimalisasi pemanfaatan energi panas bumi perlu dilakukan karena pemerintah telah memberi mandat agar bauran kebijakan energi di 2030 diharuskan adanya campuran sebanyak 25% dari energi baru terbarukan.

Dwi mengungkapkan cadangan energi panas bumi terbesar berada di Indonesia. Namun, keterbatasan teknologi menyebabkan pengolahannya membuat negara lain yang lebih banyak menikmati, dan tidak dominan dinikmati Indonesia. “Perihatian profesor-profesor dari UGM, ITB, ITS maupuan lembaga riset lain ke mana?,” ujarnya.

Dia menilai, kondisi ini tentu memprihatinkan mengingat ke depannya sumber energi yang berasal dari energi fosil seperti minyak bumi lambat laun akan semakin berkurang. “Untuk itu, pemanfaatan energi baru terbarukan (EBT) sangat diperlukan, termasuk sumber energi panas bumi,” katanya.

Potensi panas bumi atau geothermal di negeri ini diperkirakan mencapai 40% dari cadangan dunia atau sekitar 27 ribu megawatt (MW) Hingga kini, yang dimanfaatkan masih minim, di bawah 2.000 MW. Pada awalnya, pengembangan panas bumi di Tanah Air menjadi percontohan bagi negara di Asia.

Filipina pun belajar ke Indonesia. Ini dinilai ironis karena sekarang proyek geothermal di negara itu justru jauh lebih maju. Sementara di Indonesia, memulai satu proyek saja terseok-seok.

Presiden Joko Widodo menyatakan pemerintah memberi perhatian serius pada EBT, terutama panas bumi karena potensi yang dimiliki Indonesia begitu besar dan tidak boleh disia-siakan. Presiden bahkan memastikan pengembangan panas bumi akan dipermudah. Ini adalah momentum yang tepat bagi Indonesia untuk agresif menggali energi listrik dari panas bumi.

“Ke depan kita harus fokus pada energi panas bumi ini karena memang potensi di Indonesia sangat besar. Apalagi, panas bumi adalah sumber energi yang terbarukan dan ramah lingkungan,” kata Jokowi.

Ketua Asosiasi Panas Bumi Indonesia (API) Abadi Poernomo mengatakan setidaknya ada beberapa  persoalan mendasar yang menghambat pengembangan panas bumi. “Pertama, kita belum mempunyai informasi yang didukung data valid mengenai perkiraan potensi. Kedua, masalah harga listrik. Belum ada nilai keekonomian sesuai dengan tingkat risiko eksplorasi dan eksploitasi cadangan panas bumi,” katanya.

Ihwal harga uap dan tarif listrik dari panas bumi, pemerintah diminta untuk memberikan solusi. Hal ini terkait soal keengganan PT PLN (Persero) untuk melanjutkan interim agreement yang disepakati sebelumnya dengan PT Pertamina Geothermal Energy (PGE), anak usaha Pertamina. Dalam interim agreement, PLN dan PGE saling mengusulkan revisi harga jual uap dan tarif listirk dari empat pembangkit panas bumi di Kamojang, Bangung, Jawa Barat dan empat pembangkit di Lahendong, Sulawesi Utara. PLN membeli uap dan listrik dari PGE dengan sangat murah, yaitu di bawah US$ 3 sen perkilowatthour padahal energi panas bumi sangat ramah lingkungan. Di sisi lain, PGE tak mau pada harga tersebut karena perseroan harus melakukan perawatan dan juga eksplorasi sumur-sumur baru panas bumi. (DR)