Bachtiar Abdul Fatah.

Bachtiar Abdul Fatah.

JAKARTA – Ke mana lagi keadilan harus dicari. Begitulah mungkin yang menggelayut di benak Bachtiar Abdul Fatah, yang kini harus kembali merasakan pengapnya sel ruang tahanan. Vice President Supply Chain Management (SCM) PT Chevron Pacific Indonesia ini dijemput paksa Kejaksaan Agung saat sedang berzikir sebelum berangkat kerja, meski Putusan Praperadilan telah membebaskannya.

Menghuni Rumah Tahanan (Rutan) Cipinang, Jakarta Timur, adalah kali kedua Bachtiar harus meringkuk di balik jeruji besi, setelah pada 26 September – 27 November 2012 lalu ia harus menginap di Tahanan Kejaksaan Agung. Bachtiar kemudian menghirup udara bebas setelah Putusan Praperadilan pada Pengadilan Negeri Jakarta Selatan Nomor: 38/Pid.Prap/2012/PN.Jkt-Sel, tanggal 27 Nopember 2012 menyatakan ia tidak terkait dengan kasus bioremediasi Chevron yang disidik Kejaksaan Agung.

Namun setelah Majelis Hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi menjatuhkan vonis kepada dua kontraktor proyek bioremediasi Chevron pada 7 – 8 Mei 2013 lalu, Kejaksaan Agung kembali berhasrat mengkriminalkan Bachtiar Abdul Fatah. Meski permintaan Kejaksaan Agung ke Mahkamah Agung agar menganulir putusan praperadilan tidak pernah digubris, namun lembaga penegak hukum yang dipimpin Basrief Arief ini tetap ngotot melaksanakan kehendaknya.

Bachtiar pun dijemput paksa belasan jaksa di rumahnya Jalan Marga Satwa, Cilandak, Jakarta Selatan pada Jumat pagi, 17 Mei 2013 sekitar pukul 06.00 WIB. Bapak empat anak yang pernah menjabat General Manager Sumatera Light South (SLS) Chevron ini diangkut Kejaksaan Agung tanpa diberi kesempatan menghadirkan kuasa hukumnya.

Toh Bachtiar tidak patah arang mencari keadilan. Di balik jeruji Rutan Cipinang, pada Senin pagi, 20 Mei 2013, suami dari Nanda yang merasa terdzalimi ini menulis surat curahan hatinya untuk para Editor, penanggung jawab pemberitaan di media massa, yang diyakininya masih mempunyai nurani untuk memperjuangkan keadilan di negeri ini.          

Berikut petikan lengkap surat Bachtiar Abdul Fatah yang diterima Editor Dunia Energi:

Surat untuk Editor

Selayaknya jutaan warga negara Indonesia lainnya, setiap hari saya berangkat ke kantor dengan satu tujuan: demi membahagiakan keluarga saya. Demi memberikan yang terbaik bagi istri saya. Demi menyiapkan masa depan yang cerah bagi empat orang anak saya. Demi merawat orang tua saya. Demi memberikan hal yang baik bagi masyarakat.

Saya bangga dapat bekerja untuk Chevron Pacific Indonesia. Saya bergabung di perusahaan ini pada tahun 1989 dan mendapat kesempatan untuk bekerja sama dengan para profesional terbaik dan handal di Indonesia. Saya percaya bahwa apa yang kami lakukan setiap hari di CPI memberikan kontribusi penting bagi negara dan kontribusi yang sangat nyata bagi masyarakat.

Ironisnya, alih-alih berangkat ke kantor untuk menyediakan kebutuhan keluarga, saya malah ditahan di LP Cipinang. Untuk seorang yang bekerja dengan penuh etika dan kehormatan, yang selalu bangga akan negaranya, sungguh sangat menyakitkan untuk mengatakan bahwa ini kali kedua saya dipenjara tahun ini.

Yang pertama adalah pada 26 September hingga 27 November 2012. Saya ditahan selama 62 hari oleh Kejaksaan Agung tanpa ada satupun tuntutan hukum yang dikenakan kepada saya. Meski pihak jaksa penyidik terus mengulur waktu untuk penyidikan mereka, saya tetap yakin bahwa kebenaran akan terungkap dan saya akan bebas.

Keyakinan saya berbuah manis ketika permintaan praperadilan saya dikabulkan oleh Pengadilan Negeri Jakarta Selatan dengan putusan No.38/Pid.Prap/2012/PN.Jkt-Sel. Putusan praperadilan menyatakan bahwa tidak ada bukti yang mendukung penetapan saya menjadi tersangka dan memerintahkan untuk membebaskan saya dari segala tuntutan.

Sampai detik ini tidak ada putusan pengadilan yang lebih tinggi yang menganulir putusan praperadilan tersebut. Menurut aturan hukum Indonesia, saya seharusnya menjadi manusia bebas hari ini……

Lalu, mengapa Kejaksaan Agung merasa memiliki hak untuk datang ke rumah saya dan, di depan anak-anak dan istri saya, memaksa untuk membawa saya ke kantor mereka untuk menjalani pemeriksaan sebagai tersangka pada kasus yang sama dimana hakim telah mementahkannya di pengadilan enam bulan lalu? Mengapa Kejaksaan Agung merasa memiliki hak untuk menahan saya di penjara tanpa dasar hukum? Apakah ada hukum lain yang menjadi rujukan Kejaksaan Agung selain hukum Indonesia dan sistem peradilan kita?

Kepada siapa kita meminta perlindungan ketika para penegak hukum yang seharusnya menegakkan hukum dan melindungi hak warga negara telah terang-terangan mengabaikan putusan pengadilan?

Istri dan anak-anak saya ingin mengetahui jawaban dari pertanyaan ini namun saya tidak bisa berada didekat mereka untuk memberitahu jawabannya. Tapi Anda, para editor punya kuasa mencarikan jawabannya.

ttd

Bachtiar Abdul Fatah

——————————

(Abraham Lagaligo/abrahamlagaligo@gmail.com)