Herlan bin Ompo (duduk di kursi terdakwa) mendengarkan Hakim membacakan vonis untuknya di persidangan Rabu, 8 Mei 2013.

JAKARTA – Praktisi hukum Dedi Kurniadi menilai pengadilan kasus bioremediasi PT Chevron Pacific Indonesia merupakan peradilan yang sesat, karena tidak mempertimbangkan fakta selama persidangan, serta menjadikan keterangan ahli yang tidak obyektif sebagai dasar menjatuhkan putusan.

Penilaian ini diungkapkan Dedi, usai Majelis Hukum Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) dalam kasus bioremediasi menjatuhkan vonis atau putusan kepada kliennya, Herlan bin Ompo pada Rabu, 8 Mei 2013. Herlan yang merupakan Direktur PT Sumigita Jaya, divonis enam tahun penjara, berikut denda Rp 150 juta, serta kewajiban mengembalikan uang negara USD 6 juta.

Ditemui di koridor lantai dua Pengadilan Tipikor, Jl HR Rasuda Said – Jakarta, Dedi mengaku prihatin terhadap Majelis Hakim yang seluruh pertimbangannya dalam menjatuhkan vonis, menggunakan keterangan Edison Effendi, ahli yang diajukan Jaksa Penuntut Umum.

Padahal sudah jelas terungkap di persidangan bahwa Edison adalah ahli yang tidak obyektif, karena pernah kalah dalam tender proyek bioremediasi yang diadakan Chevron. Di depan Majelis Hakim, Edison pun telah mengaku pernah mengikuti tender bioremediasi Chevron dan kalah.

Selain itu, keterangan Edison juga bertentangan dengan isi Keputusan Menteri (Kepmen) Lingkungan Hidup (LH) Nomor 128 Tahun 2003. yang menjadi dasar pelaksanaan kegiatan bioremediasi pada industri minyak dan gas bumi (migas) di Indonesia.

Ditambah lagi, kata Dedi, Majelis Hakim kasus bioremediasi dengan Hakim Ketua Sudharmawatiningsih, membiarkan saja Edison Effendi beperan ganda. Baik sebagai ahli yang dimintai keterangan dalam persidangan, maupun menjadi saksi yang turun ke lapangan.

“Edison turun sendiri melakukan penelitian ke lapangan, lantas dia menganalisa hasil penelitiannya sendiri di depan persidangan sebagai ahli. Di mana di dunia ini ada persidangan seperti itu, kecuali di persidangan kasus bioremediasi Chevron ini?,” tandas Dedi geleng-geleng kepala.

Dedi Kurniadi (kiri berjas hitam) dan Herlan bin Ompo (kemeja putih) memberikan keterangan usai sidang putusan, Rabu, 8 Mei 2013.

Dalam pantauan Dunia Energi pun, pertimbangan yang dipaparkan Majelis Hakim dalam memvonis Herlan maupun Ricksy, seluruhnya didasarkan pada keterangan Edison Effendi. Anggota Majelis Hakim yang membacakan pertimbangan putusan dengan suara pelan, buru-buru, dan nyaris tak terdengar terkesan hanya menyalin isi dakwaan Jaksa Penuntut Umum.

Padahal dakwaan Jaksa Penuntut Umum seluruhnya didasarkan pada keterangan Edison Effendi. Majelis Hakim juga tidak membahas keterangan Edison soal TPH (Total Petroleum Hydrocarbon) tanah, yang berbeda dengan isi Kepmen LH 128/2003 yang menjadi dasar munculnya tuduhan korupsi.

“Jadi sebenarnya persidangan kasus bioremediasi ini merupakan peradilan sesat. Majelis Hakim mengabaikan semua fakta yang terungkap di persidangan, dan justru kembali menjadikan keterangan Edison Effendi sebagai pertimbangan menjatuhkan putusan,” ungkap Dedi sesaat usai persidangan.

Herlan bin Ompo yang berada di samping Dedi pun menegaskan, tidak gentar menghadapi kasus hukum yang sedang menjeratnya. Direktur PT Sumigita jaya ini bersumpah akan tetap berjuang hingga tingkat peradilan  tertinggi, guna menghadapi fitnah yang menyerang dirinya.

“Demi Allah saya bekerja, tidak serupiah pun saya mencuri uang negara. Meskipun saya dipenjara, tidak akan sedikit pun membelenggu kebenaran dan keadilan yang akan kami ungkap di sidang-sidang berikutnya,” tegasnya berapi-api, disambut koor lagu “Padamu Negeri” oleh pengunjung sidang yang bersimpati kepadanya.

(Abraham Lagaligo/abrahamlagaligo@gmail.com)