JAKARTA – Pengembangan gas batu bara metana (coal bed methane/CBM) ternyata belum dilirik perusahaan yang beroperasi di Indonesia, termasuk salah satu produsen batu bara nasional, PT Adaro Energy Tbk (ADRO).

Garibaldi Thohir, Direktur Utama Adaro Energy, mengatakan potensi CBM ada di Indonesia, namun pengembangannya masih membutuhkan biaya besar, sehingga perusahaan lebih memilih fokus mengembangkan batu bara untuk pembangkit listrik karena lebih menguntungkan dari sisi ekonomi.

“Teknologi coal to gas, coal to liquid, coal to chemical, secara finansial, secara komersial menurut hemat kami belum memberikan return yang cukup baik. Untuk itu kami fokus sementara ke power plant,” kata Garibaldi usai RUPS Tahunan Adaro di Jakarta, Senin (23/4).

Berbagai kajian sebelummya telah dilakukan Adaro, namun sampai sekarang masih belum menemukan solusi agar pengembangan CBM memberikan nilai tambah lebih besar dibandingkan untuk tenaga listrik.

Menurut Garibaldi, beberaoa nama besar perusahaan energi kelas kakap sebenarnya telah menaruh perhatian terhadap potensi CBM di Indonesia, sebut saja Exxon ataupun beberapa perusahaan asal Australia, namun kajian mereka juga berhenti di tengah jalan.

“Itu soal nilai tambah. Dan kami sudah jauh-jauh hari melakukan, mencari nilai tambah dari batu bara. Tapi kami masih berkeyakinan, nilai tambah yang paling efektif itu bangun power plant dari batu bara,” ungkap dia.

Ignasius Jonan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) sebelumnya menyatakan salah satu manfaat dari CBM adalah potensi untuk menggantikan peran LPG, yakni dengan mengolah kandungan gas yang ada dalam batu bara melalui proses pencairan. Pemerintah pun mendorong adanya kerja sama konkrit dengan perusahaan tambang batu bara untuk memanfaatkan CBM.

“Kami akan akomodasi jika mau ke CBM. Saya dorong oil and gas dan perusahaan multi energy, seperti Pertamina sekarang coba kesitu dan bekerja sama dengan perusahaan tambang batu bara,” kata Jonan.(RI)