JAKARTA – DPR menyatakan dukungannya terhadap pengembangan energi panas bumi. Namun upaya pengembangan panas bumi tidak harus dengan masuknya PT PLN (Persero) ke dalam PT Pertamina Geothermal Energy, anak usaha PT Pertamina (Persero).

“Tentu kita ingin menggali lebih dalam cara seperti apa untuk bisa mengembangkan panas bumi. Kalau PLN masuk PGE, saya keberatan juga karena harus sertakan modal dan menyediakan uang,” ujar Mohamad Haekal, Wakil Ketua Komisi VI DPR di Jakarta, Kamis (13/10).

Menurut Haekal, rencana masuknya PLN ke PGE dipastikan akan membebani PLN untuk bisa menyediakan modal. Padahal PLN saat ini membutuhkan dana yang cukup besar untuk menyelesaikan porsi tugasnya dalam proyek pembangkit listrik 35 ribu megawatt (MW). Disisi lain, pemerintah sudah membatasi anggaran penambahan modal kepada BUMN karena adanya potensi defisit anggaran.

“Saya juga heran karena untuk program 35 ribu MW saja butuh dana yang besar. Jadi kan butuh PMN yang biasanya Rp 5 triliun-Rp15 triliun. Untuk selesaikan program tanpa mengakuisisi saja sudah berat,” kata Haekal.

Dia menambahkan sampai saat ini Komisi VI belum mengetahui skema dan konsep secara jelas dari rencana pengambilalihan PGE oleh PLN dari Kementerian Badan Usaha Milik Negara (BUMN). Untuk itu dibutuhkan kajian mendalam sebelum mengambil langkah yang bisa menentukan arah kebijakan energi di masa depan.

“Perlu dikaji lebih dalam siapa yang mampu kembangkan panas bumi lebih baik. Butuh penjelasan dari PLN dan Pertamina juga. Karena tindakan ini kan juga tergantung arah kebijakan shareholder. Itu semua belum disampaikan secara komperehensif ke DPR,” ungkap Haekal.

Marwan Batubara, Direktur Eksekutif Indonesian Resources Studies (IRESS), menegaskan akan lebih baik jika PLN fokus dengan kegiatan operasionalnya saat ini. Apalagi untuk bisa menguasai sebagian saham PGE dibutuhkan dana yang tidak sedikit sementara keuangan PLN juga memiliki keterbatasan.

“PLN fokus saja pada pembangunan pembangkit, gardu listrik dan jaringan transmisi dalam program pembangkit 35 ribu MW,” kata dia.

PLN, kata Marwan, membutuhkan dana yang cukup besar, yaitu sekitar US$2 miliar hingga US$2,5 miliar untuk bisa mengambil saham Pertamina di PGE. Jika PLN tidak memiliki kemampuan untuk mengumpulkan danatersebut, maka tidak usah dipaksakan.

“Sebagaimana dikatakan Dirut (Direktur Utama) PLN, Sofyan Basir, masalah dana harus dipenuhi oleh PLN dengan meminjam atau obligasi. Ini yang menjadi pertanyaan, apakah PLN siap?” kata dia.

Sementara itu, ditemui di tempat yang sama, Edwin Hidayat Abdullah, Deputi Bidang Usaha Energi Logistik Kawasan dan Pariwisata Kementerian BUMN, mengungkapkan apa yang disiapkan pemerintah untuk PGE bersinergi dengan PLN ditujukan untuk bisa membentuk suatu entitas bisnis baru yang lebih besar dan kuat di sektor panas bumi. Apalagi Pertamina dan PLN sama-sama memiliki WKP jadi sebaiknya disatukan.

Menurut Edwin prospek sinergi antara PGE dan PLN nantinya akan dilakukan melalui mekanisme inbreng saham. Jadi tidak ada tindakan akuisisi, yang adahanya kesepakatan pembagian saham. “PGE berapa PLN berapa, komposisi saham yang perlu disepakati. Artinya kita mau bangun kesepakatan geothermal,”tandas dia.(RI)