Perusahaan hanya dapat bertahan kalau memenuhi kebutuhan sosial dan sebaliknya perusahaan dapat melayani kebutuhan sosial kalau ia mandiri secara ekonomi. Inilah yang menjadi filosofi PT Chevron Pacific Indonesia dalam menjalan program corporate sosial responsibilty (CSR), yang oleh produsen minyak dan gas terbesar di Indonesia disebut sebagai kegiatan social investment.

Dony Indrawan, Corporate Communication Manager Chevron, mengatakan Chevron telah lama beralih dari sekadar memberikan bantuan ke empowerment. Chevron telah membangun strategi social invesment yang baru. “Selama ini pola pembentukan masyarakat kepada CSR bahwa perusahaan melakukan pendekatan pilantropi. Ada masa dimana pola itu harus dilakukan dengan pola bantuan. Diawali pola yang dilakukan dengan bantuan infrastruktur,” ungkap dia dalam media capacity building Energy and Mining Editor Society (E2S) di Garut, akhir pekan lalu.

Menurut Dony, perusahaan migas dimanapaun, akan menyiapkan infrastruktur yang memadai, baik untuk karyawan maupun keluarganya. Untuk tahap awal, terutama di frontier area, perusahaan migas akan menawarkan kesejahteraan yang lebih dari memadai agar karyawannya bisa bekerja optimal. Akibatnya, timbul kesenjangan yang lebar antara masyarakat sekitar daerah operasi dengan perusahaan.

Kesenjangan inilah yang kemudian diupayakan diperkecil melalui program-program social investment yang dilakukan Chevron. Namun seiring perubahan sosial masyarakat yang dinamis, program perusahaan bergeser dan tidak sekadar hanya memberikan donasi. Pasalnya, kalau terus melakukan donasi, tidak akan ada perubahan perilaku masyarakat sehingga mereka tidak mandiri dan berdaya.

Dony mengungkapkan Chevron meelibatkan banyak pihak untuk menentukan apa yang menjadi kebutuhan masyarakat, apa yang menjadi dasar untuk melakukan kegiatan social investment. “Kita melihatnya bagaimana membuat apa yang diberikan memberi manfaat berkelanjutan. Good business, apa yang bisa kita berikan, memberi dampak yang berkesinambungan,” katanya.

Menurut Dony, kemitraan Chevron dengan masyarakat sudah lebih dari 90 tahun atau tepatnya diawali pada 1924. Sampai saat ini, Chevron masih tercatat sebagai kontributor terbesar produksi minyak dan gas nasional yakni sebesar 40%, melalui operasinya di Riau dan Kalimantan.
 
Perusahaan asal Amerika ini juga ikut serta menyediakan kebutuhan listrik bagi jutaan masyarakat Indonesia melalui proyek panasbumi di Jawa Barat. Melalui Chevron Geothermal Indonesia Ltd, dan Chevron Geothermal Salak Ltd.
 
Dari kehadirannya yang sudah lama jauh sebelum proklamasi kemerdekaan RI ini, sudah memberikan manfaat ekonomi dan sosial, bukan hanya bagi masyarakat di sekitar lokasi operasi, tetapi juga bagi Indonesia.
 
Bukti kontribusi yang besar ini, diperlihatkan dari hasil riset yang dilakukan oleh LembagaPenyelidikan Ekonomi & Masyarakat (LPEM) Universitas Indonesia  bersama IHS, lembaga riset yang terkait dengan peran perusahaan dalam mempengaruhi perekonomian dan bisnis di suatu daerah, yang berbasias di Colorado, Amerika Serikat.

Hasil dari analisa dampak ekonomi yang dilakukan LPEM dan IHS menunjukkan bahwa Chevron tetap mempertahankan peran pentingnya bagi perekonomian Indonesia. Pada 2013 saja misalnya, Chevron bersama mitranya berkontribusi sebesar Rp125 triliun, terhadap Produk Domestik Bruto (PDB atau Gross Domestic Product/GDP) Indonesia dan menyumbang Rp101 triliun bagi pendapatan Negara melalui pendapatan pemerintah dari migas atau government lifting entitlements dan pajak.

Pada tahun yang sama, Chevron secara langsung mempekerjakan 6.219 pekerja dan ikut membantu menciptakan 259.247 lapangan kerja lainnya dari kegiatan operasinya melalui mitranya, pemasok utama atau langsung dan rantai pemasok lanjutan atau tidak langsung dan imbasan di industri penunjang.

Operasi Chevron menghasilkan pendapatan bagi pemerintah Indonesia sekitar Rp 455 triliun dalam 5 tahun untuk periode 2009-2013, termasuk dari mitranya. Jumlah ini lebih dari cukup untuk membangun jalan lintas Sumatra dari Aceh ke Lampung sepanjang 2.700 kilometer. Kemudian pendapatan rerata per tahun yang dihasilkan dari operasi Chevron, sekitar Rp91 triliun atau setara dengan 7,7% dana APBN. Jumlah ini cukup untuk membangun 41.000 klinik kesehatan.

Kontribusi operasi Chevron  pada 2013, sebesar Rp120 t atau 1,4 persen lebih besar dari PDB Indonesia. Jumlah ini setara dengan biaya untuk membangun 46.000 sekolah dasar. Dari kegiatan operasi Chevron pada tahun 2013, menghasilkan Rp7,7 triliun pendapatan pribadi pekerja Indonesia dari karyawan Chevron dan mitranya. Jumlah ini cukup untuk menyekolahkan sebanyak 1,8 juta pelajar di sekolah menengah (tingkat SLTA).

Dari operasi perusahaan pada  2013, mampu  menghasilkan lebih dari 260.000 pekerjaan baik yang langsung, tidak langsung maupun imbasan di industri penunjang. Jumlah ini cukup untuk penyediaan lapangan kerja bagi populasi tenaga kerja usia produktif di Yogyakarta. Setiap satu pekerjaan di Chevron, mendukung rata-rata 36 lapangan kerja lain di Indonesia untuk periode tahun 2009 hingga 2013.

Dan setiap Rp10 triliun dari pengeluaran langsung Chevron pada 2013 mendorong pertambahan nilai sebesar Rp7,2 triliun dari kontraktor dan pemasoknya. Selain kontribusi dari kegiatan opersai, kontribusi Chevron terhadap masyarakat juga dapat dilihat dari dampak propgram investasi sosial.

Menurut Dony, kgiatan CSR atau investasi sosial adalah bagian yang tidak terpisahkan dari kegiatan operasional perusahaan. Ini adalah nilai yang tertanam dan menjadi pegangan dimanapun Chevron beroperasi.
“Jadi kita tidak lagi bicara berapa dananya, apakah ini masuk cost recovery atau tidak. Karena bagi kita, kegiatan CSR atau Social Investment adalah bagian yang tidak terpisahkan dari setiap kegiatan operasional yang kita lakukan.”

Risna Resnawaty, pakar CSR dari Universitas Padjajaran Bandung, mengatakan CSR atau tanggungjawab sosial perusahaan, selama ini masih dipahami sebagai hanya pada program yang terkait erat dengan pembangunan infrastruktur serta program yang sifatnya charity atau kebaikan perusahaan (community assistance). Padahal, CSR harusnya dipahami lebih luas lagi sebagai bentuk penguatan masyarakat, dimana masyarakat bisa mandiri dan bisa menyelesaikan persoalan mereka. Muara dari kegiatan CSR adalah community empowerment.

Risna yang sejak 2008 sampai 2011 melakukan penelitian kegiatan CSR di perusahaan mingas dan pertambangan di hampir seluruh wilayah di Indonesia, menegaskan bahwa Kegiatan CSR yang benar, harus mampu memberi dampak positif baik secara ekonomi, sosial ataupun ekologis.

“Kegitan CSR yangn dilakukan perusahaan harus ada dampak positif secar ekonomi, kegiatan yang dilakukan dapat diterima oleh masyarakat dan kegiatan yang dilakukan harus memperhatikan pada lingkungan dan keberlangusngan manusia dalam lingkungan,” demikian jelas dosen jurusan Kesejahteraan Sosial Fisip Unpad tersebut.

Dari pengalamannya melakukan penelitian CSR di industri migas, ada dua tipologi kegiatan CSR pasca dibubarnya BP Migas dan digantikan oleh SKK Migas. Apalagi, sejak 2008, dana untuk kegiatan CSR tidak lagi bisa dilakukan cost recovery. Saat itu, menurutnya ada penyelewengan, dimana ada kegiatan non CSR yang dimasukan sebagai dana CSR.
 
Menurut perempuan berhijab ini, setelah era BP Migas, tipe kegiatan CSR dibagi menjadi tipe ekonomis dan tipe reformis. Pada kegiatan CSR jenis ekonomis, perusahaan melakukan pengurangan pada beberapa bagian. Kemudian tipe selanjutnya yakni reformis, dimana meski sudah tidak masuk cost recovery, perusahaan tetap fokus melakukan kegiatan yang sama, lebih fleksibel dan kreatif.
 
Secara konseptual, perempuan yang menyelesaikan program doktoral dari Universitas Indonesia ini, ada tiga bentuk CSR yakni, community assistance, community relation dan community empowerment. Pada tahapan pertama, sifatnya hanya membantu dan megandalkan kebaikan hati perusahaan. Pada tahap ini, tidak ada pendampingan yang dilakukan, masyarakat juga tidak diajari untuk bertanggung jawab mengembalikan pinjaman. Sehingga, seringkali perusahaan hanya berperan sebagai ATM semata.

Untuk community relation, ini merupakan motif utama perusahaan melakukan kegiatan CSR yakni membangun relasi yang baik dengan masyarakat juga pemerintah setempat. Perusahaan memberikan sumbangan karena APBD kurang. “Ini tidak salah, karena mau tidak mau, perusahaan-apalagi perusahaan migas-, imejnya harus bagus. Dengan imej yang bagus, hubungan dengan pemangku kepentingan pun menjadi lebih baik,” tuturnya.
 
Selanjutnya untuk bentuk community empowerment, perusahaan, selain memberikan modal kepada masyarakat, perusahaan juga melakukan pendampingan, terus melakukan pemberdayaan agar masyarakat memiliki kapasitas. Memang prosesnya akan berjalkan lama, tetapi akhirnya masyarakat akan terbiasa. Ada upaya untuk meningkatkan produktivitas, memgembalikan pinjaman modal yang diberikan.  Muaranya, masyarakat tidak lagi tergantung kepada perusahaan dan menjadi mandiri serta memiliki kemampuan untuk menyelesaikan persoalan mereka sendiri.
 
“Ini (community empowerment) adalah bentuk yang paling ideal dalam melakukan program CSR,” imbuhnya lagi.
 
Jika pada bentuk pertama dan kedua, insisiatif lebih besar datang dari perusahaan (direktif), maka pada bentuk yang ketiga, masyarakat menjadi  perencana, terlibat secara aktif dalam peneyusunan program dan kegiatan yang sesuai dengan kebutuhan mereka (nondirektif).
 
“Untuk menuju tahapan menuju kegiatan CSR yang berujung pada kemandirian, ada fasilitator yang menjadi penyambung lidah antara masarakat dan perusahaan (community worker). Peran dari fasilitator inilah ang  membuat masyatrakat bisa membedakan mana yang menjadi keinginan dan mana yang menjadi kebutuhan mereka,” terangnya lagi.
 
Lebih jauh ia mengtakan, kegiatan CSR dikatakan memiliki nilai empowerment, jika inisiatif masyarakat tinggi, masyarakat aktif berpartisipasi, sementara perusahaan hanya berfungsi sebagai support dari program yang dibuat berdasarkan kebutuhan masyarakat. Dengan demikian masyarakat pun akan memiliki daya saing yang tingggi.
 
“Unsur terpenting dalam peningkatan daya saing masyarakat adalah partisipasi masyarakat dalam keseluruhan proses program,” pungkas Risna.(AT)