Para karyawan Chevron selalu setia memberikan dukungan moral kepada rekan-rekannya di persidangan bioremediasi yang sarat diskriminasi.

JAKARTA – PT Chevron Pacific Indonesia (CPI) meminta pengadilan untuk melakukan peninjauan yang obyektif dan seadil-adilnya atas berbagai fakta yang terungkap dalam persidangan kasus bioremediasi, serta melindungi hak hukum dan HAM (hak asasi manusia) dari warga negara Indonesia yang tersangkut perkara ini.

Presiden Direktur PT Chevron Pacific Indonesia (PT CPI) A. Hamid Batubara telah meminta pihak berwenang, untuk menjalankan proses peradilan yang seadil-adilnya, dan dengan hormat meminta agar hak-hak hukum dan asasi karyawan dan kontraktor CPI sebagai warga negara Indonesia tetap dihormati.

“Kami sangat prihatin atas perbedaan yang menyolok, terkait waktu yang diberikan oleh majelis hakim kepada jaksa penuntut umum menghadirkan saksi,  dibandingkan waktu sepekan yang diberikan kepada penasehat hukum untuk menghadirkan saksi yang meringankan terdakwa,” ujar Hamid di Jakarta, Jumat, 3 Mei 2013.   

Jaksa penutut umum menghabiskan waktu empat bulan untuk menghadirkan banyak saksi, tetapi hakim tidak memberikan kesempatan yang memadai bagi penasehat hukum untuk melakukan pembelaan serta menjalani proses peradilan yang seadil-adilnya.

“Tuntutan jaksa penuntut umum untuk menghukum terdakwa kontraktor PT CPI, Herland dan Ricksy, selama 15 dan 12 tahun adalah tak berdasar. Selama persidangan tidak ada bukti yang disampaikan jaksa mengenai adanya kerugian negara dan tidak ada bukti adanya tindakan pidana dari para terdakwa ini yang menjadi dasar penyidikan untuk menuntut mereka,” kata Hamid lagi.

“Kami akan berusaha keras untuk melindungi para karyawan dan kontraktor yang telah bekerja sesuai dengan ketentuan perundangan dan peraturan perusahaan,” tegasnya. Ia berharap, peninjauan secara obyektif fakta-fakta proyek bioremediasi ini, akan menunjukkan kepatuhan dan keberhasilan proyek ini sebagai proyek pengelolaan lingkungan, yang sudah disetujui dan diawasi oleh instansi pemerintah terkait.

Ia menuturkan, saksi-saksi dari pemerintah, SKK Migas dan KLH, telah bersaksi di persidangan bahwa program bioremediasi telah sesuai dengan perundangan yang berlaku dan kebijakan pemerintah. Pengadilan pun telah mendengar dari ahli independen bahwa program bioremediasi telah berhasil membersihkan tanah lebih dari setengah juta meter kubik.

Banyak Kejanggalan

Hamid juga mengaku, sangat prihatin atas beberapa kejanggalan dalam penanganan hukum kasus ini sejak Kejaksaan Agung memulai penyelidikannya pada Oktober 2011, seperti:

·         Kejagung menahan empat karyawan kami selama 62 hari pelimpahan dokumen penuntutan ke pengadilan dan karyawan kami dilepaskan dari tahanan hanya karena gugatan praperadilan mereka dikabulkan.

·         Kesaksian dan motif dari ahli yang ditunjuk Kejagung sebagai penunjuk arah penyidikan dan saksi kunci secara hukum tidak dapat diterima mengingat yang bersangkutan terbukti di persidangan pernah gagal untuk memperoleh tender proyek bioremediasi di PT CPI. Hal ini mengindikasikan adanya konflik kepentingan.

·         Tuntutan jaksa hanya didasarkan pada hasil uji sampel tanah yang tidak benar serta keterangan yang keliru dalam menjelaskan Kepmen LH 128/2003 oleh ahli tersebut.

·         Perhitungan BPKP atas cost recovery yang dianggap sebagai kerugian negara oleh Kejagung hanya didasarkan pada keterangan ahli tersebut kepada auditor BPKP bahwa proyek bioremediasi adalah fiktif.”

Pada kesempatan yang sama, Chevron IndoAsia Business Unit Managing Director, Jeff Shellebarger, menyatakan, kalangan industri mencari kejelasan soal landasan hukum dalam pengelolaan kontrak bisnis swasta.

“Kami meminta pihak berwenang  untuk merujuk penyelesaian kasus proyek bioremediasi ini kepada SKK Migas dan lembaga pemerintah yang berwenang dalam melakukan audit dan persetujuan terhadap proyek-proyek dalam Production Sharing Contract (PSC) yang mengatur operasi PT CPI,” ujarnya.

Ia menjelaskan, PSC merupakan kontrak perdata antara PT CPI dan pemerintah Republik Indonesia, yang mengatur secara jelas mekanisme penyelesaian sengketa yang harus dijalankan, apabila ada pertanyaan seputar proyek yang harus dijawab oleh perusahaan.

“Tindakan yang diambil oleh Kejagung ini akan membuat sangat sulit bagi perusahaan-perusahaan dan para karyawannya untuk beroperasi secara efektif di Indonesia,” tandas Jeff.

(Abraham Lagaligo/abrahamlagaligo@gmail.com)