JAKARTA – Pemerintah diminta untuk segera merumuskan dan menetapkan formulasi harga batu bara untuk konsumsi dalam negeri (Domestic Market Obligation/DMO) Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU). Pasalnya, jika tidak segera ditetapkan maka yang paling akan berdampak adalah PT PLN (Persero).

Fahmy Radhi, Pengamat Energi dari Universtias Gadjah Mada, mengungkapkan kebijakan pemerintah yang menetapkan tidak ada kenaikan tarif listrik ditengah kenaikan harga minyak dunia dan batu bara membuat PLN harus melakukan efisiensi besar-besaran. Namun langkah tersebut juga masih belum cukup dan optimal jika masih belum ada regulasi jelas mengenai penetapan harga batu bara.

“Pemerintah bisa juga ikut menurunkan beban PLN dalam pembelian batu bara dengan menetapkan harga batu bara lebih rendah dari harga keekonomian dalam skema DMO,” ungkap Fahmy kepada Dunia Energi, Jumat (19/1).

Menurut Fahmy, penetapan harga lebih rendah dari keekonomian tidak akan merugikan produsen batu bara. Pasalnya, harga batu bara sudah cukup bagus dalam hampir satu tahun terakhir.

“Mereka sudah meraup keuntungan dalam jumlah besar dengan adanya kecenderungan kenaikan harga batu bara dalam beberapa bulan terakhir ini,” kata dia.

Harga batu bara acuan (HBA) Januari 2018 mencatat kenaikan 1,6% dari posisi Desember 2017. Data Kementerian ESDM, HBA Januari dipatok US$95,54 per ton setelah satu bulan sebelumnya HBA berada pada level US$94,04 per ton.

Pada 2017, rata-rata HBA US$85,92 per ton atau lebih tinggi 38,94% dibanding dengan rata-rata HBA pada 2016 yang hanya US$61,84 per ton. Hasil itu menjadi yang tertinggi dalam empat tahun terakhir.

PLN sebelumnya telah melakukan simulasi dampak yang ditimbulkan bagi keuangan PLN sebagai akibat dari kebijakan tidak naiknya tarif listrik ditengah peningkatan harga bahan baku.

Dalam data simulasi tersebut terkuak bahwa PLN berpotensi mengalami kehilangan laba bersih mencapai Rp 4,856 triliun. Laba bersih PLN diperkirakan tidak mencapai target, yakni hanya diproyeksikan sebesar Rp 5,584 triliun dari target RKAP 2018 sebesar Rp 10,44 triliun. Hal itu berdasarkan simulasi target pertumbuhan penjualan listrik dipatok 5,72% dengan harga batu bara sebesar Rp 860 per kg.

Proyeksi itu juga berdasarkan asumsi nilai tukar rupiah diasumsikan Rp 13.500 per dolar Amerika Serikat. PLN juga telah mengasumsikan adanya perubahan harga minyak mentah Indonesia (Indonesia Crude Price/ICP). Jika APBN dan RKAP 2018 ICP ditetapkan US$ 48 per barel maka dalam asumsi terbaru sebesar US$ 55 per barel dan harga gas US$ 7,84 per MMBTU.

Seiring kenaikan harga bahan baku produksi listrik, beban biaya produksi BPP) ikut meningkat. Jika APBN 2018 menetapkan rata-rata BPP ditetapkan Rp 1.280 per KWh dan pada RKAP ditetapkan Rp1.361 per KWh. Hasil kalkulasi terbaru PLN rata-rata BPP meningkat menjadi Rp1.444 per KWh.(RI)