JAKARTA – Rencana akuisisi PT Pertamina Geothermal Energy (PGE), anak usaha PT Pertamina oleh PT PLN (Persero) menunggu keputusan pemerintah melalui Kementerian Badan Usaha Milik Negara. Pembicaraan antara PLN dan Pertamina terhadap rencana akuisisi tersebut sempat terhenti menyusul pergantian direksi Pertamina.

“Kita tunggu keputusan pemerintah berikutnya, tapi kami sudah memulai,” ujar Sofyan Basir, Direktur Utama PLN saat acara buka puasa bersama dengan media di Jakarta, Kamis (15/6).

Menurut Sofyan, PLN saat ini telah memperoleh 14 konsensi wilayah kerja panas bumi dengan total potensi kapasitas yang bisa dikembangkan sebesar 1.100 megawatt (MW).
“Tujuh di antaranya akan mulai dikerjakan pada tahun ini. Jadi bukan kami tidak mau mengembangkan panas bumi,” kata dia.

Rencana penggabungan PGE ke PLN dimulai saat era kepemimpinan Dwi Soetjipto di Pertamina. Saat itu, penggabungan PGE ke PLN diharapkan dapat menjadi solusi terhadap kendala harga beli listrik dari panas bumi.

Namun rencana tersebut kemudian tenggelam seiring dualisme kepemimpinan di Pertamina hingga kemudian diikuti pencopotan Dwi Soetjipto dan Ahmad Bambang dari posisi direktur utama dan wakil direktur utama Pertamina.

Akuisisi PGE ke PLN kembali mencuat setelah masuknya Elia Massa Manik sebagai direktur utama Pertamina dan isu masalah keuangan BUMN itu untuk membiayai proyek-proyek kilang dan pengembangan blok migas terminasi.

PGE juga butuh dana besar untuk membiayai sejumlah proyek pengembangan panas bumi. Saat ini PGE tengah mengerjakan proyek PLTP Lumut Balai Unit 1 dan 2 (total project 2×55 MW) yang ditargetkan beroperasi (commercial operation date/COD) pada 2018 untuk Unit 1 dan 2019 untuk Unit 2. Selain itu, PLTP Lumut Balai Unit 3 dan 4 (total project 2×55 MW) target COD pada 2022 untuk Unit 3 dan 2024 untuk Unit 4.

PLTP Sungai Penuh (upstream project 1×55 MW) target COD pada 2020, Hululais (upstream project 2×55 MW) target COD pada 2019 untuk Unit 1 dan 2021 untuk Unit 2.

Disisi lain, PLN terus berupaya menekan biaya pembelian listrik dari pembangkit-pembangkit yang dinilai kemahalan, termasuk dari panas bumi. Salah satu produsen listrik panas bumi terbesar adalah PGE.

Seiring akan masuknya dua PLTP, Karaha Unit 1 dan Ulubelu Unit 4 akan beroperasi pada semester pertama tahun ini, kapasitas pembangkit PGE mencapai 617 MW.
“Kita juga tidak mau saudara susah. Tapi jangan sampai saudara itu menyusahkan kita,” kata Sofyan.

Menurut Sofyan, PLN tidak resisten terhadap harga beli listrik dari panas bumi. Namun masalahnya harga beli listrik panas bumi terlalu tinggi dan berbeda di tempat lain.

“Kami melihat pelaku usaha memanfaatkan momentum untuk mendapat keuntungan sebesar-besarnya,” kata dia.

Sofyan mengungkapkan dengan biaya investasi per megawatt (MW) yang mencapai US$6,5 juta, maka pelaku usaha harus menjual listrik dari panas bumi sebesar 13,5 sen per kWh. Pelaku usaha beralasan besarnya biaya investasi pembangkit panas bumi karena masalah infrastruktur yang minim.

Padahal jika membeli listrik dari pembangkit batu bara (pembangkit listrik tenaga uap), PLN hanya harus membayar sepertiganya. Ini karena biaya investasi per MW pembangkit batu bara hanya sebesar US$2 juta.

“Jadi kalau saya sebagai investor, kenapa harus mengejar pembangkit yang biayanya mahal. Jangan sampai pelaku usaha mengambil rente dan PLN yang menanggung semua,” tandas Sofyan.(AT)