JAKARTA- Tragedi mengenaskan sekaligus memilukan kembali terulang di Kabupaten Musi Banyuasin (Muba), Sumatera Selatan, Minggu (22/1) malam. Peristiwa ledakan dan kebakaran akibat kegiatan pengeboran minyak ilegal atau illegal drilling memakan korban. Sarnubi (40), warga Desa Kemang, Kecamatan Sanga Desa, Muba, yang menjadi pekerja pada pengeboran minyak ilegal, tewas seketika. Tiga pekerja lainnya, yaitu Pendi (19), Andi (39), dan Sukarno (25), warga Desa Kemang, mengalami luka bakar di sekujur tubuh. Setelah terjadi ledakan dan kebakaran, para korban dibawa ke klinik di Mangun Jaya, Kecamatan Babat Toman, Muba untuk mendapatkan pertolongan.

Sehari sebelumnya, persisnya pada Sabtu (21/1), terjadi ledakan sekitar pukul 06.00 WIB di Dusun 1, Desa Toman, Kecamatan Babat Toman. Akibat kejadian itu, empat buah tungku yang di gunakan untuk memasak minyak terbakar, satu unit sepeda motor terbakar, dan sekitar 100 drum minyak juga turut terbakar.

Pada Rabu (11/1) malam juga terjadi ledakan di lokasi pengeboran ilegal. Sekitar 18 orang warga pekerja pengeboran minyak ilegal di Talang Saba, Dusun III, Desa Tanjung Keputren, Kecamatan Plakat Tinggi, Muba, menderita luka bakar. Pengeboran dilakukan pada lahan milik warga (masyarakat), bukan berada di wilayah kerja kontraktor kontrak kerja sama (KKS). Korban dibawa ke Rumah Sakit Sekayu, ibu kota Muba.

Sepekan kemudian, Rabu (18/1) pagi, juga terjadi kebakaran tempat penyulingan minyak ilegal di Dusun III, Desa Ulak Pace Jaya, Kecamatan Lawang Wetan. Tidak ada korban jiwa dalam kejadian ini. Namun, puluhan drum berisi minyak masak terbakar, satu mobil pikap, dan satu unit motor terbakar.

Sebelumnya, pada Jumat pagi, 28 Oktober 2016, terjadi ledakan pada sumur minyak ilegal di Dusun IV Desa Kemang, Kecamatan Sanga Desa. Akibat ledakan sumur ilegal milik Anton warga Dusun IV Desa Kemang, salah satu pekerja yakni Robinus meninggal dunia di lokasi kejadian karena mengalami luka bakar. Kejadian meledaknanya sumur ilegal tersebut, pada saat pekerja tengah sibuk melakukan aktivitas pengeboran minyak dan melakukan pengurasan sumur minyak.

Pada saat proses pengurasan tersebut, minyak keluar dengan deras bercampur lumpur dari dalam sumur pengeboran. Sedangkan pekerja lainnya, berhasil menyelamatkan diri, namun setelah api padam, satu orang meninggal dunia atas nama Robinus. Adapun pekerja lainnya yakni Bambang, mengalami luka bakar sekitar 70%, dan langsung dilarikan ke RSUD Sekayu, akibat luka yang diterima serius sehingga korban dilarikan ke RSMH Palembang.

Banyaknya pekerja pada pengeboran ilegal minyak di sejumlah daerah di Muba, tentu saja sangat memprihtinkan. Padahal, praktik pengeboran minyak tersebut jelas-jelas sebuah kejahatan karena melanggar Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi. Sesuai UU Migas, pelaku illegal drilling dapat dipidana penjara dan juga sanksi berupa denda.

Pasal 52 UU Migas menyatakan setiap orang yang melakukan eksplorasi dan atau eksploitasi tanpa mempunyai kontrak kerja sama dipidana dengan pidana penjara paling lama enam tahun dan denda paling tinggi Rp 60 miliar. Hal ini diperkuat oleh pasal 57 ayat (2) yang menyatakan bahwa tindak pidana sebagaimana dimaksud pasal 52, pasal 53, pasal 54, dan pasal 55 adalah kejahatan.

Direktur Eksekutif Center of Energy and Resources Indonesia (CERI) Yusri Usman mengatakan praktik illegal drilling marak di Sumatera Bagian Selatan. Praktik illegal drilling bukan hanya terjadi di wilayah KKKS, tapi juga di lahan milik pribadi/masyarakat. Padahal kegiatan illegal drilling tersebut adalah sebuah kejahatan. “Tak heran bila publik mensyinyalir bahwa pelakunya ada dugaan kerja sama dengan oknum aparat penegak hukum,” ujarnya.

Yusri mengaku mendapat informasi bahwa salah satu KKKS sudah berkoordinasi dengan aparat pemerintah daerah dan kepolisian untuk melakukan penindakan dan penertiban praktik illegal drilling di wilayah kerja KKKS tersebut. Namun, praktik illegal drilling masih terus terjadi. Bukan hanya di wilayah KKKS, tapi juga di lahan pribadi. Padahal, pengeboran ilegal tersebut sangat membahayakan bagi diri penambang dan juga merusak lingkungan. “Ada dugaan pelaku illegal drilling dilindungi oleh oknum-oknum aparat,” katanya.

Pemerintah dan penegak hukum (polisi), sejatinya bertindak tegas menegakkan aturan. Apalagi UU Migas adalah payung hukum bagi segala kegiatan hulu migas di Tanah Air. Apabila UU Migas menyatakan bahwa ada larangan pengeboran minyak di suatu wilayah, entah di lahan milik masyarakat atau di wilayah kerja satu KKKS, pelaku pengeboran bisa terkena tindak pidana kejahatan.

“Pemerintah dan penegak hukum harus konsisten.Kalau misalnya ada larangan yang tercantum dalam UU yang tingkatannya lebih tinggi, ya harus dilaksanakan. Jangan terjadi pembiaran,” ujar Firlie H Ganinduto,
Ketua Komite Tetap Hubungan Kelembagaan dan Regulasi Energi Migas Kamar Dagang dan Industri.

Menurut Firlie, maraknya praktik illegal drilling karena pemerintah dan penegak hukum melakukan pembiaran. Padahal, praktik pengeboran minyak itu ilegal karena pengebor minyak tidak memiliki kontrak dengan pemerintah sehingga merugikan negara. Di sisi lain, lanjut Firlie, kegiatan pengeboran minyak, termasuk penyulingan minyak ilegal, berbahaya bagi keselamatan dan kemanan para pekerja yang melakukan kegiatan penambangan. “Belum lagi limbah minyak hasil pengeboran merusak lingkungan dan kesehatan,” katanya.

IGN Wiratmadja Pudja, Direktur Jenderal Minyak dan Gas Bumi, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral, mengatakan pihaknya melakukan penyelidikan untuk mengungkap kasus pengeboran ilegal yang menimbulkan banyak korban terbakar dan tewas di Muba. Namun, Wiratmadja tidak merinci sejauh mana proses penyelidikan dan tindakan yang akan diambil oleh pemerintah terkait maraknya kegiatan illegal drilling di Muba. “(Persoalannya) di-handle sesuai prosedur,” ujar Wiratmadja kepada Dunia-Energi.Com.

Dia menegaskan, Kementerian ESDM berkoordinasi dengan pemerintah daerah untuk mencari jalan keluar terkait persoalan tersebut. Sedangkan terkait aspek pidana, Wiratmadja menyerhkan kepada pihak kepolisian. “Untuk aspek pidana, kami percayakan ke aparat penegak hukum,” katanya.

Belajar dari Sarolangun

Pemerintah Kabupaten Muba dan Polda Sumsel, khususnya Polres Muba, sejatinya belajar banyak dari Pemkab Sarolangun dan Polres Sarolangun, Jambi. Polisi dan pemerintah daerah sepakat untuk memberangus praktik pengeboran ilegal. Brigjen (Pol) Yazid Fanani, Kapolda Jambi, menyebutkan, sepanjang 2016, aparat Polda Jambi telah menutup sebanyak 110 sumur minyak ilegal pada beberapa kabupaten dan kota di Provinsi Jambi. Hebatnya, kegitan penutupan ratusan lokasi sumur minyak ilegal tersebut dilakukan aparat kepolisian Jambi dengan situasi yang sangat kondusif dan diterima oleh para pelaku tanpa menimbulkan gejolak.

Penutupan sumur minyak ilegal atau illegal drilling tersebut, dilakukan anggota Polda Jambi di lapangan sudah sesuai dengan perintah pimpinan dan arahan dari pihak terkait sehingga tidak menimbulkan gejolak hingga kondisi kondusif. Apalagi, menurut Yazid, kegiatan penutupan sumur minyak ilegal tersebut, juga merupakan bagian tugas dari aparat kepolisian yang bekerja sama dengan pihak terkait seperti Pertamina setempat maupun pemerintah daerah.

Penertiban sumur minyak ilegal paling banyak diapresiasi oleh masyarakat berada di Sarolangun. Penertiban itu brawal dari laporan masyarakat via SMS kepada Kapolres terkait adanya aktivitas illegal drilling di Dusun Suka maju Desa Lubuk Napal Kec Pauh. Setelah dilakukan pengecekan oleh personel Polres Sarolangun, benar kedapatan praktik illegal drilling. Bersama Pemkab Sarolangun, instansi terkait, dan Dinas ESDM Jambi, Polres Saroloangun melakukan sosialisasi kepada sekira 500 penambang untuk segera menghentikan aktivitas penambangan ilegal.

Setelah diberi limit waktu sampai pertengahan September 2016, Polres Sorolangun berkekuatan 90 personel, ditambah dari Brimob, Kodim, Satpol PP, pemda dan instansi terkait melakukan penutupan sumur minyak pada akhir September. Hebatnya lagi, Pejabat Bupati Saroloangun Arif Munandar hadir pada penutupan sumur ilegal tersebut.

Lebih dari 50 sumur berhasil ditertibkan dengan cara menutup sumur secara permanen agar lokasi tersebut tidak terulang lagi ditambang masyarakat karena membahayakan bagi lingkungan, termasuk pencemaran terhadap masyarakat di sekitar lokasi pengeboran ilegal.

Langkah Polres Saroloangun dan Pemkab Sarolangun membasmi praktik illegal drilling di wilayah tersebut mendapat respons positif. Dalam Rapat Koordinasi oleh Kemanterian Polhukam dan Kementerian ESDM pada 6 Oktober 2016, yang dihadiri Dinas Instansi terkait, Polres Sarolangun mendapatkan apresiasi dan ucapan terimakasih dari Kementerian Polhukam dan Kementerian ESDM karena telah mampu menutup dan menghentikan aktivitas illegal drilling, meski dana kegiatan sosialisasi dan penertiban belum ada ada dari dinas instansi terkait.

Ironisnya, upaya Pemkab dan Polres Sarolangun tak berjalan di Kabuaten Musi Banyuasin. Praktik illegal drilling bukannya berhenti, tapi kian marak kendati korban begitu banyak. Padahal, pada awal Oktober 2016, telah ada upaya penertiban pengeboran ilegal, terutama di wilayah kerja KKKS. Saat itu, PT Pertamina EP Asset 1 Field Ramba melakukan penertiban pada 104 sumur minyak yang berada di wilayah kerja mereka. Dari jumlah itu, sekira 64 sumur yang berada di Kecamatan Keluang dan Babat Toman, berhasil ditutup dengan cara disemen. Namun, sisanya hingga kini belum tuntas untuk ditutup/disemen. Entah apa pasalnya.

Yang terang, Pemkab Muba malah meminta Pertamina untuk menghentikan sementara kegiatan penertiban sumur minyak di wilayah kerja perusahaan terutama pada 27 sumur di Mangunjaya, Babat Toman, dan 9 di Keluang. Pelaksana Bupati Muba Beni Hernadi pada pertengahan Oktober 2016 bahkan mengirim surat kepada Direktur Utama PT Pertamina EP Rony Gunawan (saat itu). Intinya, Pemkab meminta penertiban 36 sumur itu ditunda. Pertamina EP juga diminta untuk “duduk santai” karena PT Petro Muba, BUMD milik Pemkab Muba, yang akan “mengurus segalanya”. Artinya, Pemkab Muba berhasrat agar dilibatkan dalam kegiatan penambangan sumur-sumur yang dianggap tua, peninggalan zaman Belanda. Minyak itu kemudian diserahkan (dijual) ke Pertamina.

Namun, hasrat Pemkab Muba itu sejatinya tak semudah membalik telapak tangan. Maklum, izin untuk pengeboran minyak pada sumur—katakanlah dianggap sumur tua—bukan pada Pertamina EP, tapi ada pada Direktorat Jenderal Migas Kementerian ESDM. Hal ini sesuai dengan Peraturan Menteri ESDM No 1 Tahun 2008 perihal pengelolaan sumur-sumur tua oleh BUMD dan Koperasi. BUMD atau Koperasi yang hendak mengelola sumur-sumur tua harus mengajukan izin kontrak kepada KKKS yang memiliki wilayah kerja.

KKKS pun sejatinya tak gampang untuk menerima permohonan karena mereka sudah berkontrak dengan SKK Migas sekalu pengawas KKKS. Perlu izin dan rekomendasi SKK Migas untuk kemudian diajukan kepada Ditjen Migas. Di sisi lain, wilayah kerja Pertamina EP Field Ramba adalah wilayah kerja aktif. Apalagi di sana, juga tengah dilakukan eksplorasi. Karena itu, hasrat untuk mengelola sumur-sumur lawas oleh BUMD bisa terbuka dinegosiasikan oleh pemerintah daerah dengan pemerintah pusat. Namun, sebelum itu terealisasi, pemerintah daerah dan aparat penegak hukum mesti melakukan penertiban terhadap sumur-sumur minyak ilegal seraya mencokok pelaku illegal drilling dan bekingnya. Apalagi, UU Migas secara eksplisit menyatakan bahwa pelaku eksplorasi dan eksploitasi migas tanpa kontrak adalah sebuah kejahatan! (DR/RA)