JAKARTA – Produsen listrik swasta (independent power producer/IPP) dianjukan melakukan akselerasi dalam mencari dana pembangunan pembangkit, salah satunya dengan mencoba opsi pinjaman dari bank internasional.

Arcandra Tahar, Wakil Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), mengatakan pendanaan dari bank internasional wajar dilakukan jika IPP tidak mendapatkan pinjaman dari dalam negeri yang sesuai dengan keekonomian proyek. Apalagi bank asing menawarkan suku bunga sebesar 2%, jauh dibawah suku bunga yang ditawarkan bank nasional 10%-11%.

“Waktu saya kumpulkan lenders, ada yang bilang we have so much money. Bahkan ada yang menawarkan interest rate di bawah dua persen. Terus mereka bilang we have so much money, tapi proyek-nya tidak ada,” kata Arcandra di Kementerian ESDM, Selasa (9/5).

Arcandra mengatakan IPP harus bisa meningkatkan kualitas dan competitiveness agar bisa mendapatkan pembiayaan dari bank asing. “Mungkin persyaratan dari segi environment-nya ketat. Mampu tidak kita sebagai pengusaha IPP EBT memenuhi persyaratan itu,” kata dia.

Riza Husni, Ketua Asosiasi Pengembang Pembangkit Listrik Tenaga Air, mengakui saat ini sangat bsulit untuk mendapatkan pinjaman dari bank lokal. Disisi lain, persyaratan bank asing berbeda dengan bank lokal.
Menurut dia, banyak anggota yang ditolak meminjam uang dari bank dalam negeri maupun luar negeri untuk membangun pembangkit. Apalagi, untuk pembangunan PLTA kecil dibawah 10 megawatt (MW).

Salah satu alasan penolakan lembaga pembiayaan untuk mendanai pembangunan pembangkit adalah poin dalam Pasal 8 ayat 2 Peraturan Menteri ESDM Nomor 10/2017 yang membuat pengembangan jadi tidak bankable untuk perbankan. Ada regulasi yang menyatakan pengembang menanggung risiko yang ditentukan oleh pemerintah.

“Kita sudah coba ke berbagai lembaga internasional. Tapi ada klausul di permen 10 yang bikin bank pada tidak mau, klausul force majeure itu,” tandas Riza.(RI)