JAKARTA – Salah satu potensi terbesar  energi baru terbarukan (EBT) di Indonesia adalah hydro atau tenaga air, yang mencapai 75 ribu megawatt (MW). Sayangnya dengan jumlah sebesar itu utilisasi atau pemanfaatannya tidak sampai 7%.

Adhi Satriya, Senior Advisor Andritz Hydro, mengatakan konsep penyediaan tenaga listrik yang diusung pemerintah sekarang kurang efektif dalam menyerap potensi EBT yang sebetulnya justru berada di wilayah pelosok. Selama ini pemerintah berpatokan pada Rencana Umum Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) yang selalu direvisi setiap tahun. Konsep RUPTL adalah dimana ada demand, disitu baru disediakan listrik.

Indonesia dinilai perlu satu acuan lagi dalam penyediaan listrik, khususnya yang berbasis EBT yaitu renewable based industrial development. Hal ini sudah diterapkan di negeri tetangga Malaysia. Bahkan di Indonesia sebenarnya sudah diterapkan juga oleh PT Indonesia Asahan Aluminium (Inalum) yang memiliki pembangkit listrik tenaga air (PLTA) sendiri, sehingga beban biaya listriknya tidak besar.

“Jadi pendekatannya demand creation, approach. Ini bukan angan-angan atau mimpi. Ada PLTA yang skala besar kemudian pemerintah menyediakan industrial complex jadi datang investor industri dan pembangkit. Kami create demand lengkap dengan infrastruktur,” papar Adhi saat konferensi pers Andritz Hydro di Double Tree Hotel Jakarta, Rabu (18/4).

Dia menambahkan jika tidak ada perubahan landasan fundamental tersebut maka jangan harap Indonesia akan terbebas dengan cepat dari belenggu bahan bakar energi dari fossil, seperti batu bara yang memang lebih sedikit investasi yang dibutuhkan. Sementara EBT terutama air akan membutuhkan investasi yang cukup besar.

Selama ini PT PLN (Persero)  menjalankan tiga prinsip utama dalam perencanaan serta memilah pembangkit listrik mana yang akan dibangun pertama dari supply and demand, less cost (efisien) serta dari sisi financial atau keekonomian proyek.

“Ini adalah aturan mainnya PLN, baik untuk integrated interkoneksi maupun isolasi,” ungkap Adhi.

Jika berpatokan pada tiga prinsip itu maka wajar jika PLN lebih memilih memperbanyak pembangkit batu bara karena telah memenuhi tiga prinsip tersebut.

“Karena itu PLN hanya punya satu kaki (RUPTL), kalau pemerintah punya satu kaki lagi, potensi itu bisa diutilisasi,” tukasnya.

Herman Agustiawan, Wakil Chief Executive Officer Andritz Hydro, mengakui pengembangan pembangkit EBT tenaga air terkendala mahalnya investasi. Namun itu hanya terjadi di awal. Jika proyek sudah berjalan maka biaya pengelolaan sangat minim, karena sumber dayanya gratis diberikan alam. Adapun penerapan teknologi yang ada bukanlah penyebab mahalnya biaya pembangunan pembangkit EBT tenaga air karena pada kenyataannya teknologi hanya 20%-30% dari keseluruhan total investasi.

“Mahal justru di pekerjaan sipilnya, seperti membuka jalan, membangun fasilitas transportasi misalkan bandara, pelabuhan, kan itu harus kirim alat dan lainnya. Itu yang membuatnya jadi mahal,” kata dia.

Menurut Herman, kemauan dari pemerintah juga memiliki andil. Pengembangan EBT tidak lepas dari campur tangan pemerintah, baik pusat maupun daerah yang memiliki potensi yang dimiliki.

“Solusinya ya government will itu saja, tidak hanya pusat ya tapi daerah juga. Sisihkan saja dana anggaran, nanti buat bantu bangun pembangkit pasti bisa sebenarnya,” tandasnya.(RI)