JAKARTA – Kebijakan Energi Nasional (KEN) menargetkan  peningkatan energi baru terbarukan (EBT) dari 5% pada 2015 menjadi 23% di 2025. Target tersebut mengindikasikan kapasitas pembangkitan listrik dari EBT sebesar 45 gigawatt (GW), sehingga diperlukan tambahan kapasitas sebesar 36 GW.

Dari total target kapasitas EBT tersebut, pembangkit listrik tenaga surya (PLTS) mencapai 6,4 GW.

“Hingga saat ini kapasitas pembangkit EBT baru 9 GW, dan total kapasitas pembangkit listrik energi surya masih di bawah 100 MWp. Padahal potensi nasional yang tersedia mencapai 560 GWp,” kata Faby Tumiwa, Direktur Institute for Essential Services Reform (IESR), dalam diskusi di Jakarta, baru-baru ini.

Andhika Prastawa, Ketua Umum Aosiasi Energi Surya Indonesia (AESI), mengatakan bahwa target 6,4 GW sebetulnya dapat terpenuhi, salah satunya dengan mendorong pengembangan listrik surya atap (solar rooftop) dengan memanfaatkan atap bangunan rumah pribadi, gedung pemerintah, gedung komersil, rumah ibadah, atap pabrik dan kawasan industri serta fasilitas publik lainnya.

Pada September 2017, AESI, PPLSA, IESR, Bersama dengan Kementerian ESDM, Kementerian Perindustrian dan berbagai organisasi lainnya meluncurkan Gerakan Nasional Sejuta Surya Atap (GNSSA). Tujuan gerakan tersebut untuk mendorong pemanfaatan teknologi surya atap sehingga dapat mencapai kapasitas terpasang satu GW pada 2020.

“Sejak GNSSA diluncurkan, terdapat animo yang tinggi dari masyarakat. Ini ditandai dengan peningkatan jumlah listrik surya atap yang tersambung dengan jaringan PLN (grid-tief) lebih dari dua kali lipat dalam enam bulan,” kata Andhika.

Selain itu, tren yang sama juga dapat dilihat pada pemasangan listrik surya atap di gedung perkantoran, bangunan komersial serta perumahan yang dikembangkan oleh developer.

Potensi surya atap di Indonesia cukup besar. Berdasarkan laporan IRENA pada 2017 potensi tenaga surya mencapai 3,1 GW per tahun, sekitar 1 GW merupakan potensi dari listrik surya atap dan 2,1 GW untuk PLTS (ground mounted solar). Berdasarkan perkiraan potensi tersebut, target  PLTS dalam KEN dan RUEN dapat tercapai dengan cepat.

Selain itu, Perpres No. 22/2017 tentang Rencana Umum Energi Nasional (RUEN) telah menetapkan bahwa untuk mendukung pencapaian target listrik surya, maka diberlakukan kewajiban pemanfaatan sel surya minimum 25% dari luas atap bangunan mewah, kompleks perumahan, dan apartemen, dan 30% dari atap bangunan pemerintah.

“Sayangnya hingga saat ini belum ada regulasi yang memadai untuk mendorong pengembangan listrik surya atap. Bahkan Permen ESDM Nomor 1/2017 justru menghambat pemanfaatan teknologi listrik surya atap khususnya untuk bangunan komersial dan industri serta fasilitas publik,” kata Faby.

Menurut Faby, regulasi tersebut secara tidak langsung menghambat pemilik gedung dan pabrik serta kawasan industri memasang pembangkit listrik tenaga surya di atap bangunannya karena secara ekonomi menjadi lebih mahal dengan ketentuan membayar biaya kapasitas kepada PT PLN, (Persero) .

Nur Pamudji, Ketua Dewan Pakar AESI, mengatakan saat ini terdapat gerakan global oleh perusahaan-perusahaan multinasional, termasuk yang memiliki investasi di Indonesia untuk berkomitmen menggunakan listrik dari sumber energi terbarukan hingga mencapai 100% yang dinamakan RE100.

Pemanfaatan teknologi surya atap merupakan salah satu cara bagi perusahaan-perusahaan untuk memenuhi komitmen dan target karena dapat langsung dipasang di atap fasilitas produksi atau kerja-nya. Selain membeli listrik hijau dari pembangkit lainnya dengan harga premium.

“Adanya regulasi dapat mendorong perusahaan-perusahaan ini untuk memasang listrik surya atap dengan kapasitas yang besar dengan biaya yang ekonomis,” kata Nur Pamudji.

Solusi listrik surya atap juga menjadi bagian dari upaya konservasi energi dan mengurangi pemakaian listrik yang bersumber dari bahan bakar fossil. Secara tidak langsung, penggunaan listrik surya atap oleh publik dan non-state-actors lainnya juga berkontribusi terhadap pencapaian penurunan emisi sebagaimana yang dijanjikan oleh Presiden Joko Widodo di COP-23 Paris pada 2015.

Fabby menekankan agar Kementerian ESDM segera merumuskan regulasi yang mendorong pemanfaatan teknologi listrik surya atap secara ekonomis. Adanya regulasi yang memadai dapat mendorong perkembangan pasar teknologi photovoltaic di Indonesia, yang ada akhirnya dapat menurunkan biaya teknologi dan investasi, serta membuka lapangan kerja.

“Seperti yang kita lihat di banyak negara, aplikasi teknologi listrik surya atap secara besar-besaran yang didukung pemerintah dapat menurunkan biaya pembangkitan listrik surya. Dengan biaya investasi yang semakin rendah, listrik surya justru dapat menurunkan biaya pembangkitan listrik secara keseluruhan,” kata Fabby.(RA)