JAKARTA – Hasil pemeriksaan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) menyebutkan investasi PT Pertamina (Persero) di sektor hulu minyak dan gas periode 2014 hingga semester pertama 2016 dinilai tidak efektif karena berujung pada tidak tercapainya target. Serta peningkatan beban keuangan perusahaan. Ketidakefektifan tersebut diakibatkan belum sesuainya kegiatan perusahaan dengan sistem perundang-undangan yang berlaku serta sistem pengendalian internal yang ada.

Hasil pemeriksaan yang BPK atas kegiatan investasi hulu Pertamina mengungkapkan enam temuan yang memuat 10 permasalahan. Permasalahan tersebut meliputi tujuh masalah kelemahan sistem pengendalian internal, dua ketidakpatuhan terhadap ketentuan peraturan perundang-undangan, dan satu permasalahan ketidakefektifan.

Beberapa kegiatan hulu yang dinilai tidak sesuai dengan sistem pengendalian internal di antaranya investasi untuk akuisisi ConocoPhillips Algeria Ltd (COPAL). Investasi tersebut dinilai belum sesuai dengan Pedoman Pengembangan Usaha Hulu secara anorganik, asset sale agreement atas akuisisi Participating Interest 10% Exxon Mobil di West Qurna 1 Irak, Farm-in agreement Blok 10 dan 11.1 Vietnam antara Pertamina, Petrovietnam (PVEP), Petronas Carigali (PCOSB) dan Quad Energy ditandatangani direksi lebih dahulu sebelum mendapatkan persetujuan dari dewan komisaris dan tanpa melalui prosedur formal perusahaan.

Pertamina juga dinilai belum memiliki pedoman yang mengatur tentang metode perhitungan valuasi aset akuisisi. Pedoman pengadaan yang harus memperhatikan nilai total dan nilai per item penawaran dari peserta pengadaan (bidder) dan harga pasar pada saat negosiasi belum disusun oleh PT Pertamina Hulu Energi (PHE) West Madura Offshore (WMO).

Moermahadi Soerja, Ketua BPK, mengatakan realisasi produksi minyak Blok West Qurna 1 Irak belum mencapai target sesuai dengan prediksi dalam valuasi. Akibatnya, remuneration fee Pertamina menjadi lebih kecil dari rencana.

“Selain itu biaya cash call yang dikeluarkan oleh Pertamina untuk Blok 10 & 11.1 Vietnam membebani keuangan perusahaan,” kata Moermahadi Soerja, Ketua BPK dalam laporan Ikhtisar Hasil Pemeriksaan Semester (IHPS) I 2017, Selasa (3/10).

Menurut Moermahadi, selain tidak sesuai dengan sistem pengendalian internal yang ada di perusahaan, Pertamina juga melakukan beberapa aktivitas di sektor hulu yang tidak sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Misalnya dari sisi proses pengadaan barang atau jasa yang tidak sesuai dengan regulasi.

“Perubahan lingkup pekerjaan (PLK) kontrak rekayasa teknis pada Joint Operating Body Pertamina-Medco E&P Tomori Sulawesi (JOB PMTS) dilakukan sebelum mengajukan permohonan persetujuan ke SKK Migas,” kata dia.

Selain itu, proses pengadaan pipa untuk anjungan PHE-12 tidak sesuai dengan Pedoman Tata Kerja BP Migas No.007/revisi-II/PTK/I/2011, sehingga mengakibatkan harga hasil pengadaan kurang optimal.

Akuisisi blok migas di lapangan milik Murphy Oil Company di Malaysia juga tidak sesuai harapan karena  keterlambatan rencana start up dan ramp up produksi, penurunan produksi lapangan Kikeh dan tingginya unplanned shutdown.

“Realisasi produksi dari investasi di lapangan COPAL, Murphy Oil Company, dan Exxon Mobil tidak sesuai dengan target produksi Pertamina,” ungkap Moermahadi.

Dia juga menyatakan bahwa keputusan farm-in atas investasi pada blok 10 dan 11.1 di Vietnam kurang memberikan manfaat bagi Pertamina dan biaya cash call membebani keuangan Pertamina.

“Tim Kerja Akuisisi Direktorat Hulu kurang memperhatikan SOP yang terdapat di dalam Pedoman Pengembangan Usaha Hulu secara Anorganik, kurang optimal dalam melakukan kajian terkait dengan penetapan asumsi kapasitas produksi dan estimasi jumlah produksi harian minyak mentah. Serta kurang optimal dalam melakukan perhitungan valuasi,” tandas Moermahadi.(RI)