JAKARTA-Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) menemukan adanya potensi hilangnya penerimaan negara bukan pajak (PNBP) atas Kontrak Karya (KK) PT Freeport Indonesia (PTFI) periode 2009-2015 sebesar US$445,96 juta atau Rp6,02 triliun (asumsi kurs Rp13.500 per dolar AS).

Saiful Anwar Nasution, Auditor Utama IV BPK, mengatakan pemerintah melalui PP Nomor 45/2003 sebagaimana diubah terakhir dengan PP Nomor 9/2012, telah menetapkan besaran tarif iuran tetap, royalti dan royalti tambahan, tetapi PT FI masih menggunakan tarif yang tercantum dalam KK yang besarannya lebih rendah. Selain itu, beleid ini juga menyebutkan tiadanya penyesuaian dengan tarif terbaru menurut peraturan pemerintah tersebut sehingga mengakibatkan hilangnya potensi PNBP tersebut.

Berdasarkan PP Nomor 9 Tahun 2012, tarif royalti tembaga ditetapkan sebesar 4% , emas 3,75% , perak 3,25%. Sedangkan dalam kontrak karya, tarif royalti tembaga sebesar 3,75% , emas 1% , dan perak 1%.

“Menurut BPK, royalti itu harus sesuai dengan PP, tapi itu sudah diperbaiki, hanya memperbaikinya terlambat. Di UU Nomor 4/2009 itu khan segera dengan PP, ini khan tidak,” ujar Nasution, saat diskusi di Kantor BPK, Jakarta, Selasa (3/10).

BPK menemukan permasalahan utama, salah satunya yaitu pengendalian intern dalam Kontrak Karya PT Freeport Indonesia meliputi pelaksanaan kebijakan yang mengakibatkan hilangnya potensi penerimaan itu.

Kendati demikian, Nasution menegaskan, temuan BPK itu hanya menunjukkan potensi kerugian negara, bukan kerugian negara.

“Potensi itu bukan betul-betul kerugian secara material. Potensi itu apabila tidak melakukan sesuatu, itu bisa jadi kerugian. Jadi kami rekomendasinya tidak untuk menyetorkan terlebih dahulu, kami rekomendasinya untuk melakukan sesuatu dulu. Bila tidak dilakukan, itu baru disebut kerugian negara,” ujarnya seperti dikutip Antara.

Pemeriksaan atas KK PT Freeport Indonesia pada 2013-2015 dilakukan pada Kementerian ESDM, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan dan instansi terkait lainnya.
Pemeriksaan atas KK PT FI pada 2013-2015 untuk menilai kepatuhan PT FI terhadap kewajiban perpajakan, PNBP (royalti dan iuran tetap) serta bea keluar ekspor, menilai kepatuhan terhadap peraturan yang terkait dengan lingkungan hidup, dan menguji apakah perpanjangan kontrak yang akan dilakukan PT FI dan divestasi saham PT FI telah berjalan sesuai dengan ketentuan perundang-undangan.

Hasil pemeriksaan atas KK PT FI menyimpulkan bahwa pengelolaan pertambangan mineral pada PTFI belum sepenuhnya dilaksanakan sesuai dengan ketentuan yang berlaku untuk menjamin pencapaian prinsip pemanfaatan sumber daya alam yang berkelanjutan dan berwawasan lingkungan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat Indonesia.

Simpulan tersebut didasarkan atas kelemahan-kelemahan yang terjadi dalam KK PT FI dari aspek penerimaan negara, lingkungan hidup, perpanjangan kontrak karya dan divestasi saham, baik yang terkait dengan pengendalian intern maupun kepatuhan terhadap ketentuan peraturan perundang-undangan.

Berdasarkan data BPK, hasil pemeriksaan atas KK PT FI pada 2013-2015 mengungkapkan 14 temuan yang memuat 21 permasalahan. Permasalahan tersebut meliputi 11 kelemahan Sistem Pengendalian Intern dan 10 ketidakpatuhan terhadap ketentuan peraturan perundang-undangan senilai US$181,45 ribu , atau ekuivalen Rp2,41 miliar.

Sebelumnya, pada 1967, pemerintah Indonesia menandatangani perjanjian generasi I dengan salah satu perusahaan asal Amerika Serikat. Perjanjian KK tersebut diperbaharui menjadi KK generasi V pada 1991. Wilayah kerja PTFI meliputi Blok A dan B yang letaknya tersebar di tujuh kabupaten di Provinsi Papua.

Dalam kurun 1967-2015, PT FI mengalami beberapa kali perubahan komposisi kepemilikan pemegang saham. Pada 31 Desember 2015 tercatat 81,28% saham PTFI dimiliki Freeport McMoran (FCX), sedangkan pemerintah Indonesia dan Indocopper masing-masing memiliki 9,36%. Sementara saham Indocopper seluruhnya dimiliki FCX.

Terbitnya UU Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batu Bara menjadi dasar hukum yang kuat bagi pemerintah dalam mendorong perusahaan melakukan pengembangan dan peningkatan nilai tambah serta manfaat kegiatan usaha pertambangan secara optimal.

Sesuai amanat pasal 169 ayat (2) UU Nomor 4/2009, ketentuan dalam pasal KK PT FI harus disesuaikan (renegosiasi) dengan Pemerintah Indonesia selambat-lambatnya 1 (satu) tahun sejak diundangkan.

Sejak 2010 renegosiasi KK mulai dilaksanakan beberapa tim bentukan pemerintah. Pada 2015 hasil renegosiasi menekankan pada enam isu strategis, yaitu luas wilayah kerja, kelanjutan operasi pertambangan, penerimaan negara kewajiban pengolahan dan pemurnian, kewajiban divestasi, dan kewajiban penggunaan barang, jasa, serta tenaga kerja dalam negeri. (DR)