JAKARTA – PT Pertamina (Persero) belum akan menjadikan Blok East Natuna sebagai prioritas pengembangan dalam waktu dekat. Kompleksitas masalah teknis blok yang dikombinasikan dengan kondisi harga minyak dunia merupakan faktor yang mempengaruhi keberlangsungan blok yang memiliki potensi gas cukup besar tersebut.
Syamsu Alam, Direktur Hulu Pertamina, mengatakan setelah pembubaran konsorsium pasca kepergian Exxonmobil dan PTT EP, kini pengembangan East Natuna masih menunggu calon mitra baru. Sejauh ini baru ada dua calon mitra yang sudah mengajukan diri untuk joint study di blok yang terletak di dekat Laut Cina Selatan tersebut.
“East Natuna kan saya bilang konsorsiumnya sudah bubar. Sekarang mau cari konsorsium lagi, ada perusahaan yang sudah kirim surat untuk gabung sama kami. Sejauh ini baru dua,” kata Syamsu kepada Dunia Energi, pekan lalu (18/1).
Menurut Syamsu, melihat tingkat kesulitan yang ada di East Natuna maka akan lebih baik jika anggota konsorsium berjumlah banyak. Pasalnya, ketika harga minyak masih dikisaran US$ 100 per barel dan split atau bagi hasil besar bagi kontraktor masih belum ekonomis.
“Pemerintah split 0% Exxon 100%, mereka tidak mau. Kami untuk kembangin di situ tidak gampang karena teknologi. Dulu kan harga US$ 100 per barel saja susah, ini US$ 60 per barel. Dari kesulitan di situ, makin banyak (konsorsium) makin bagus ” ungkap dia.
Pertamina bersama konsorsium terdahulu sebenarnya sempat melakukan Technology Market Review (TMR). Hasil kajian TMR tersebut akan dilanjutkan setelah ada konsorsium baru. Pertamina memastikan yang harus dikaji bukanlah tentang keekonomian, melainkan kondisi subsurface lapangan. Setelah itu baru keekonomian, seperti volume dan harga gas nantinya.
“Intinya kami akan mulai dari subsurface, dulu kalau sudah seperti itu komersial ekonomi seperti apa. Untuk bisa menjadi komersial apa saja yang harus dilakukan, termasuk harga gas dan volume produksi seperti apa,” kata Syamsu.(RI)