JAKARTA– Bisnis eceran bahan bakar minyak (BBM) nonsubsidi harus memenuhi ketentuan yang dipersyaratkan dalam Undang-Undang No 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi, UU No 2 Tahun 1981 tentang Metrologi Legal serta UU lain yang terkait seperti UU No 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. Badan Usaha Pemegang Izin Niaga Umum (BU-PIUNU) harus memiliki dokumen Upaya Pengelolaan Lingkungan Hidup dan Upaya Pemantauan Lingkungan Hidup (UKL/UPL) serta alat takar atau alat ukur BBM yang dijual harus ditera dan ditera ulang oleh pihak Metrologi mengacu kepada UU Metrologi.

“Selain keakuratan takaran dan kualitas, juga perlu ada pengawasan yang rutin dan ketat terhadap bisnis BBM ecera, mengingat omzet pada kios BBM ceran tidak akan sebanyak pada SPBU,” ujar Direktur Eksekutif Pusat Studi Kebijakan Publik (Puskepi) Sofyano Zakaria di Jakarta, Minggu (13/8).

Terkait adanya rencana perusahaan swasta yang berbadan hukum BU PIUNU yang akan masuk dalam bisnis eceran BBM, Sofyano mengatakan, bisnis eceran BBM nonsubsidi boleh saja tetapi kios BBM yang merupakan outletnya harus memenuhi ketentuan perundangan yang berlaku. “Tidak ada pengecualian, walaupun badan usaha itu bermitra dengan usaha kecil sekalipun,” ujarnya.

Menurut Sofyano, konsumen BBM harus dilindungi. Karena itu, kualitas BBM yang dijual eceran harus terjamin sesuai ketentuan pemerintah dalam hal ini Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral. Takaran BBM pun harus terjamin sesuai jumlah yang dibeli konsumen. “Untuk ini, alat takar atau alat ukurnya harus lolos uji tera dan tera ulang berkala pihak metrologi,” katanya.

Karena ada perbedaan harga antara BBM bersubsidi dengan BBM nonsubsidi, menurut Sofyano, BBM nonsubsidi yang dijual eceran pada kios BBM tergolong rentan dan berpotensi dioplos. “Misalnya, dioplos dengan BBM jenis premium yang adalah BBM bersubsidi,” katanya.

Sofyano juga menyebutkan, bisnis eceran BBM yang jika dilakukan dalam moda kios BBM seperti Pertamina, rentan pula terhadap keamanan lingkungan. Apalagi BBM tergolong barang berbahaya yang mudah terbakar atau dibakar. Dan ini tentu akan berdampak terhadap keamanan lingkungan. Karena itu, outlet BBM eceran nonsubsidi harus dilengkapi setidaknya dengan dokumen UKL UPL yang mengacu kepada UU Lingkungan Hidup. “Ini harus jadi perhatian pemerintah daerah setempat dan pihak Kementerian ESDM,” ujar dia.

Selain itu, tambah Sofyano, keakuratan takaran dan kualitas, perlu pengawasan rutin dan ketat terhadap bisnis eceran BBM mengingat omzet pada kios BBM eceran tidak akan sebanyak pada SPBU. “Terhadap rentannya hal tersebut, saya sangat tidak mendukung jika bisnis eceranBBM ditangani oleh BUMN Pertamina dan atau anak usahanya,” jelas dia.

Menurut dia, Pertamina adalah badan usaha besar yang sudah dikenal dunia internasional bisa turun pamornya jika ikut dalam bisnis ‘asongan’. Selain itu, imej Pertamina dan atau anak perusahaannya akan terancam tercemar bisnis eceran BBM ini bermasalah dengan kualitas dan ketepatan takaran. “Pertamina sebaiknya cukup menjadi pemasok BBM ke BU PIUNU tanpa perlu terlibat dalam pengelolaan danbisnis eceran BBM tersebut,” katanya.

Kementerian ESDM sebelumnya menyatakan akan menindaklajuti banyaknya penjual BBM eceran yang memakai identitas Pertamini yang mirip dengan corak dan tanda yang dimiliki PT Pertamina (Persero). Bahkan, sudah mulai marak penjualan BBM jenis pertamax series dan peralite. Padahal, label Pertamini itu adalah ilegal dan tidak ada standar keamanan. (dr)