JAKARTA – Pemberlakuan aturan harga batu bara khusus untuk pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) yang berlaku surut dinilai riskan dalam konteks hukum. Pasalnya, dalam teknis law making process, pengaturan pemberlakuan surut sebuah aturan dihindari karena menyangkut potensi kerugian pihak lain.

“Ini riskan untuk digugat ke pengadilan oleh perusahaan tambang batu bara yang dirugikan,” kata Ahmad Redi, Pakar Hukum Sumber Daya Alam dari Universitas Tarumanegara kepada Dunia Energi, Jumat (9/3).

Pemerintah telah menerbitkan Keputusan Menteri ESDM Nomor 1395K/30/MEM/2018 tentang harga batu bara untuk penyediaan tenaga listrik untuk kepentingan umum dengan mempertimbangkan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 8 Tahun 2018, Jumat. PP tersebut mengatur tentang harga batu bara khusus dalam negeri (domestic market obligation/DMO) untuk pembangkit listrik yang telah ditandatangani oleh Presiden Joko Widodo.

Salah satu poin dalam Kepmen ESDM Nomor 1395K/30/MEM/2018 menyebutkan penetapan harga khusus batu bara untuk pembangkit berlaku surut sejak 1 Januari 2018 hingga Desember 2019. Artinya, kontrak-kontrak penjualan yang sudah berjalan sejak 1 Januari 2018 akan disesuaikan.

Redi mengatakan, kewajiban DMO telah diatur PP sebelumnya. Namun, harga atas batu bara DMO ditentukan sesuai dengan harga pasar mempunyai masalah yuridis.

Dia menambahkan harga batu bara untuk kepentingan dalam negeri sudah seharusnya ditetapkan pemerintah, tanpa harus mengikuti harga pasar. Secara konstitusional harga sumber daya alam itu harus ditetapkan oleh pemerintah.

Penetapan harga khusus batu bara untuk pembangkit berlaku surut sejak 1 Januari 2018 hingga Desember 2019.

“Di negara kapitalistik pun, harga sumber daya alam yang menguasai hajat hidup rakyatnya mesti diintervensi oleh pemerintah,” kata Redi.

PP 8/2018 merevisi PP Nomor 23 Tahun 2010 tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan Batubara. Revisi dilakukan di Pasal 85 PP Nomor 23 Tahun 2010 dengan memberikan kewenangan kepada Menteri ESDM menetapkan harga batu bara untuk ketenagalistrikan dalam negeri.

Di dalam Pasal 85 ayat 3 PP 23 Tahun 2010 tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan dan Batubara tertulis bahwa Harga patokan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditentukan berdasarkan mekanisme pasar dan/atau sesuai dengan harga yang berlaku umum di pasar internasional. Ayat tersebut direvisi dengan memberikan wewenang kepada Menteri ESDM memberi patokan harga langsung untuk batu bara di dalam negeri.

Menurut Redi, kebijakan harga batu bara untuk pembangkit memang tidak pro pelaku usaha yang sedang menikmati harga batu bara yang menguntungkan, Namun pemerintah tentu dalam menetapkan harga batu bara untuk dalam negeri tetap memperhatikan margin keuntungan pelaku usaha.

“Pemerintah pun ke depan harus berkeadilan. Ketika menetapkan harga batu bara di saat harganya jatuh untuk tetap melindungi pelaku usaha,” kata Redi.

Disan Budi Santoso, Direktur Eksekutif Centre for Indonesian Resources Strategic Studies (CIRUSS), mengatakan ketentuan harga batu bara untuk pembangkit sangat tidak bisnis friendly.

“Justru menurut saya pemerintah tidak memiliki visi sama sekali terhadap pengelolaan batu bara nasional. Dan kebijakan pemerintah hanya reaktif,” kata dia.

Menurut Disan, penetapan harga batu bara, apalagi berlaku surut dilakukan saat usaha batu bara baru “menikmati” buah ketika bertahan dari harga yang paling rendah.

“Sebagai pengusaha tentunya kalau harga dipatok, pasti penurunan profit dikompensasi ke biaya produksi. Salah satu faktornya adalah stripping ratio dan tentunya akan mengakibatkan cadangan nasional akan berkurang,” tandas Disan.(RA)