Antrian BBM

Antrian sepeda motor membeli BBM bersubsidi.

Keuntungan bisnis ini dijamin oleh APBN. Awalnya untuk membantu Pertamina, menyalurkan BBM bersubsidi ke daerah terpencil. Namun belakangan, Jawa turut menjadi sasaran.

Dengan bangga PT AKR Corporindo Tbk mengumumkan laba bersihnya yang meningkat 14,5% sepanjang sembilan bulan di 2012. Dalam laporan keuangan AKR yang berakhir 30 September 2012 disebutkan, pendapatan emiten distributor bahan bakar minyak (BBM) ini meningkat 13,4%, dari Rp 14.383 miliar di 2011, menjadi Rp 16.304,6 miliar di 2012.

Dari situ, laba bersih setelah pajak yang dapat diraup mencapai Rp 481,7 miliar. Presiden Direktur AKR, Haryanto Adikoesoemo mengakui, lebih dari 80% pendapatan perusahaannya disumbang oleh penjualan BBM, termasuk BBM bersubsidi. Diketahui, AKR merupakan salah satu pendamping PT Pertamina (Persero) untuk pendistribusian BBM bersubsidi, dengan jatah wilayah Indonesia bagian timur.

Selain AKR, diketahui PT Surya Parna Niaga (SPN) juga turut menjadi pendamping Pertamina, dalam penyaluran BBM PSO (Public Service Obligation) atau BBM bersubsidi. Nama SPN sempat diributkan karena tercatat nama Effendy MS Simbolon, Wakil Ketua Komisi VII DPR – RI, turut menjadi Komisaris di perusahaan itu. Meski membantah habis-habisan, banyak pihak meyakini politisi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) itu, turut andil meloloskan SPN ditunjuk sebagai pendamping Pertamina.

Menariknya, dalam tender BBM PSO untuk penyaluran 2013, muncul nama baru yakni PT Shell Indonesia. Sehingga total ada empat perusahaan peserta tender penyaluran BBM bersubsidi untuk 2013, yakni Pertamina, AKR Corporindo, Surya Parna Niaga, dan Shell. Diketahui, kuota BBM bersubsidi yang telah ditetapkan untuk 2013 adalah 46 juta Kiloliter (KL). Dari jumlah itu, perusahaan non-Pertamina yang memenangkan tender, akan mendapat jatah menyalurkan 2,4%-nya atau 1,1 juta KL.

Shell adalah perusahaan asing kedua, yang mencoba ikut memburu rezeki distribusi BBM bersubsidi. Sebelumnya PT Petronas Niaga Indonesia sudah lebih dulu mencoba, namun terpental. Tahun ini, anak usaha BUMN perminyakan Pemerintah Malaysia itu tak menyertakan lagi namanya, dalam tender BBM bersubsidi. Sama seperti Petronas, saat ini Shell telah terlibat dalam bisnis BBM non-subsidi.

Persiapan Shell sendiri tampak lebih matang. Sejak Desember 2011, perusahaan asal Belanda itu sudah menunjukkan kebolehannya, menjual BBM non-subsidi lewat Stasiun Pengisian Bahan Bakar Umum (SPBU) khusus sepeda motor yang pertama di Indonesia, “Shell Motor Express” yang berlokasi di Cikupa, Tangerang. Pada 13 September 2012, Shell juga berkirim surat ke pemerintah, meminta agar dilibatkan dalam penyaluran BBM bersubsidi pada 2013.

Surat yang ditandatangani  Country Chairman and Prasident Director PT Shell Indonesia, Darwin Silalahi itu menyebutkan, agar pemerintah melibatkan jaringan distribusinya dalam penyaluran BBM bersubsidi 2013. Shell menjanjikan, dalam waktu dekat akan membangun 70 SPBU khusus sepeda motor, di seluruh Indonesia. Dengan begitu, Shell yakin mampu melaksanakan tugas pendistribusian BBM bersubsidi.

Bukan hanya itu. Sumber Dunia Energi di Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Jawa Timur mengungkapkan, Shell telah melakukan presentasi di hadapan pengurus lembaga pimpinan La Nyalla Mattaliti tersebut. “Shell juga mengaku sudah mendapat  “lampu hijau” dari Badan Pengatur Hilir Minyak dan Gas Bumi (BPH Migas), dan Jawa Timur akan menjadi salah satu sasaran penyaluran BBM bersubsidi oleh Shell,” ujar sumber tersebut awal Oktober 2012.

Bisnis Dijamin APBN

Apa yang dipersiapkan Shell ini langsung mengundang reaksi keras, dari sejumlah pihak terutama Himpunan Wiraswasta Nasional Minyak dan Gas Bumi (Hiswana Migas). Ketua Hiswana Migas, Eri Purnomohadi mengatakan, jika BPH Migas memenangkan Shell sebagai salah satu pendamping Pertamina menyalurkan BBM bersubsidi pada 2013, sama saja dengan membuka kran liberalisasi penyaluran BBM bersubsidi.

Eri melihat ada yang tidak adil, dimana Pertamina sebagai Badan Usaha Milik Negara (BUMN) dipaksa membangun tujuh kilang, agar dapat mendistribuksikan BBM bersubsidi dengan lancar. Pertamina juga sudah berjibaku membangun ribuan SPBU di seluruh Indonesia, guna mengoptimalkan penyaluran BBM bersubsidi. “Eh sekarang seenaknya perusahaan asing masuk dalam bisnis yang sudah pasti untung itu, tanpa syarat seperti yang diterapkan pada Pertamina,” ujarnya pada Jumat, 12 Oktober 2012.

Secara terpisah, Direktur Indonesian Resources Studies (IRESS) Marwan Batubara menilai, sejak awal ada yang salah dalam pelibatan swasta untuk menyalurkan BBM bersubsidi. Karena dalam pasal 66 Undang-Undang Nomor 19 tahun 2003 tentang BUMN disebutkan, pelaksana PSO atau pelayanan umum termasuk penyaluran BBM bersubsidi adalah BUMN, dalam hal ini Pertamina. Sama halnya pada kelistrikan, pelaksana tugas PSO adalah PT PLN (Persero) dan bukan swasta.

Marwan lantas merunut sejarah dilibatkannya swasta dalam penyaluran BBM bersubsidi. Yakni sejak keluarnya Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 71 Tahun 2005 tentang Penyediaan dan Pendistribusian Jenis BBM Tertentu. Dalam Perpres itu disebutkan, keterlibatan swasta ialah untuk membantu Pertamina menyalurkan BBM bersubsidi, hingga ke daerah-daerah terpencil yang belum terjangkau infrastruktur atau SPBU Pertamina.

Namun dalam prakteknya, swasta yang menjadi pendamping Pertamina juga mendapat kesempatan meyalurkan BBM di Bantul, Jawa Tengah dan Lampung. Apakah kedua wilayah itu termasuk yang terpencil? Sementara dalam pantauan Dunia Energi, daerah-daerah seperti Pulau Maratuwa di Berau, Kalimantan Timur, juga di Kepulauan Natuna nyaris tak pernah tersentuh BBM bersubsidi. Para nelayan tradisional di sana, sudah terbiasa membeli solar dengan harga non-subsidi, yang penting bisa melaut.

Marwan mengakui, bisnis distribusi BBM bersubsidi memang sangat menggiurkan. Karena selain sudah pasti untung karena sudah pasti dibeli masyarakat, pembayarannya pun dijamin oleh Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Ia menunjukkan betapa swasta yang ikut menjadi pendamping Pertamina seperti AKR Corporindo, terus bermandi keuntungan setiap tahun. “Saya yakin rezeki nomplok inilah yang merangsang asing ingin ikut masuk,” tandasnya awal Oktober 2012.

Dalam kondisi ini, desak Marwan, BPH Migas mestinya bersikap tegas, dengan tidak memberikan kesempatan pada asing untuk terlibat dalam bisnis ini. Namun apa mau dikata kalau dalam proses tender penyalur BBM bersubsidi itu setiap tahun, tidak pernah transparan. Apalagi Shell berniat masuk ke Jawa Timur, yang merupakan lahan basah penyaluran BBM bersubsidi. “Apa alasannya Shell mau menyalurkan BBM bersubsidi di Jawa Timur? Memangnya Jawa Timur daerah terpencil?,” sergahnya.

SPBU Shell

SPBU “Shell Motor Express” di Cikupa, Tangerang.

Marwan menambahkan, jika sampai benar Shell dimenangkan sebagai salah satu pendamping Pertamina, terlebih mendapat jatah menjual BBM bersubsidi di Jawa Timur, maka BPH Migas sudah melakukan pelanggaran konstitusi. Mengingat distribusi BBM bersubsidi menyangkut hajat hidup orang banyak, dan itu harus dilaksanakan oleh negara lewat BUMN.

Pihak Shell sendiri menolak banyak berkomentar, terkait rencananya ikut menyalurkan BBM bersubsidi di Jawa Timur. Dalam suatu kesempatan di akhir September 2012, Country Chairman and Prasident Director PT Shell Indonesia, Darwin Silalahi hanya mengaku sedang berkonsentrasi untuk menggarap bisnis penjualan BBM khusus sepeda motor. Yakni dengan membangun sekitar 70 SPBU khusus sepeda motor di seluruh Indonesia.

Toh Darwin tidak menampik, Shell sedang ikut bersaing untuk mendapat “kue” distribusi BBM bersubsidi. “Jika nantinya diberi kesempatan menyalurkan BBM bersubsidi, maka Shell akan fokus hanya untuk melayani sepeda motor,” jelasnya. Meski demikian, Darwin menolak memerinci, di mana saja 70 SPBU khusus sepeda motor itu akan dibangun. “Yang jelas investasinya kecil, per unit hanya 10% dari total investasi untuk pembangunan SPBU pada umumnya,” tukas Darwin.

Cabut Perpres 71/2005

Hujan protes terkait rencana Shell mendistribusikan BBM bersubsidi di Jawa, nampaknya cukup menjadi perhatian BPH Migas. Pada Selasa, 30 Oktober 2012, Badan Pengatur yang diketuai Andy N Sommeng itu mengeluarkan keputusan, menolak keinginan Shell untuk ikut mendistribusikan BBM bersubsidi melalui SPBU khusus sepeda motor yang akan dibangun di Jawa.

Anggota Komite BPH Migas, Fahmi Harsandono menuturkan, kalau nantinya Shell benar-benar ditunjuk ikut mendampingi Pertamina menyalurkan BBM bersubsidi pada 2013, maka area distribusinya akan diarahkan ke luar Jawa, khususnya Indonesia timur. Namun apakah Shell akan benar-benar ditunjuk ikut menyalurkan BBM bersubsidi pada 2013, menurut Fahmi belum diputuskan. “Akan ada sidang Komite BPH Migas dengan sembilan anggota yang akan memutuskan,” jelasnya.

Fahmi menambahkan, pada dasarnya BPH Migas ingin memastikan BBM bersubsidi terdistribusikan ke seluruh pelosok Nusantara, termasuk ke daerah-daerah yang sulit dijangkau Pertamina. Maka dari itu, Pertamina masih membutuhkan pendamping swasta, dalam tugas PSO-nya. Namun ia mengakui, kalau Shell ikut diberi jatah menyalurkan di Jawa, akan banyak menimbulkan polemik.

Meski demikian, Direktur Eksekutif IRESS, Marwan Batubara tetap memandang keputusan BPH Migas itu masih kurang tegas, dan berpotensi melanggar Konstitusi. “Memberikan jatah pada swasta saja sudah melanggar Konstitusi dan UU BUMN, apalagi menyerahkannya pada asing,” tandas mantan anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD) RI Periode 2004 – 2009 ini.

Marwan pun berpendapat, mestinya Perpres 71/2005 juga dicabut karena bertentangan dengan Konstitusi. Jika Pertamina kesulitan menyalurkan ke daerah-daerah terpencil akibat minimnya infrastruktur, maka itu tugas pemerintah untuk melengkapi infrastruktur di seluruh pelosok negerinya. “Inilah problem kalau kita masih mempertahankan subsidi yang amat besar pada BBM, selain penyelewengan, juga jadi ajang rebutan mengeruk keuntungan yang dijamin APBN,” ungkapnya.

VP Corporate Communication Pertamina, Ali Mundakir mengaku, memang banyak yang aneh dalam penyaluran BBM bersubsidi di Indonesia. Pertamina sendiri, selama ini diwajibkan selalu menyediakan cadangan BBM bersubsidi untuk 20 hari, dengan volume mencapai 1,3 juta barel per hari.

Untuk itu, dalam setiap 20 hari Pertamina harus merogoh kocek hingga Rp 26 triliun, sehingga kerap dituding tidak efisien. “Apakah swasta pendamping Pertamina juga mendapat kewajiban itu?,” tukasnya. Belum lagi ketika terjadi over kuota konsumsi BBM bersubsidi, seperti yang terjadi pasca Lebaran 2012 lalu. Pertamina diwajibkan memenuhi kebutuhan BBM bersubsidi masyarakat, apa pun risikonya.

Ali pun mengungkapkan, sejak 2011 Pertamina harus menanggung over kuota konsumsi BBM bersubsidi, yang sampai 2012 ini nilainya mencapai Rp 7 triliun. Karena belum ada anggarannya, tagihan over kuota itu belum dibayar oleh pemerintah, dan dijanjikan untuk dimasukkan anggaran 2013. “Apakah swasta juga menanggung beban seperti itu?,” tutupnya.

(Abraham Lagaligo / abrahamlagaligo@gmail.com)