Kegiatan penambangan batubara PT Berau Coal.

BERAU – PT Berau Coal sedang menghadapi krisis hebat di wilayah operasinya saat ini. Produsen terbesar kelima batubara Indonesia ini, didesak oleh berbagai elemen masyarakat untuk menyerahkan 30% sahamnya untuk dimiliki pemerintah daerah (pemda).

Gelombang desakan itu terus menguat dalam sebulan belakangan. Puncaknya pada Jumat, 5 April 2013 pekan lalu, ribuan anggota masyarakat Kabupaten Berau, Kalimantan Timur, menggelar unjuk rasa di depan kantor Berau Coal, Jalan Pemuda, Tanjung Redeb, Berau, hingga nyaris rusuh. Ironisnya, demo besar-besaran itu terjadi persis di hari ulang tahun ke-30 Berau Coal.

Public Relation Manager Berau Coal, Bintoro Prabowo tak menampik adanya unjuk rasa tersebut. Ia mengaku sudah sempat menerima perwakilan pengunjuk rasa, guna mendengarkan aspirasi mereka. Namun ia menjelaskan bahwa sebenarnya kewajiban divestasi Berau Coal sudah dilaksanakan.

“Saat ini 90% saham Berau Coal dimiliki oleh PT Berau Coal Energy Tbk yang merupakan perusahaan nasional, yang listing di Bursa Efek Indonesia. Pemilik asingnya hanya Sojitz Corporation sebesar 10%. Ini sudah sesuai dengan peraturan tentang divestasi,” jelasnya saat dikonfirmasi Dunia Energi di Jakarta pada Selasa, 9 April 2013.

Bahkan, kata Bintoro, meski telah beroperasi sejak 30 tahun lalu, dalam hal divestasi Berau Coal telah menyesuaikan dengan kewajiban yang tertuang dalam Undang-Undang baru Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara (UU Minerba) berikut regulasi teknisnya yakni Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 24 Tahun 2012 tentang Kegiatan Usaha Pertambangan Minerba.

“Sesuai UU Minerba dan PP 24/2012, divestasi saham ke pengusaha nasional wajib dilakukan lima tahun setelah produksi sampai tahun ke-10, hingga saham nasional mencapai 51%. Itu sudah kami lakukan, dan kewajiban divestasi Berau Coal sudah tuntas,” terangnya.

Meski demikian, karena pengunjuk rasa merasa belum puas dan ingin 30% saham Berau Coal diserahkan ke pemda, Bintoro menyanggupi untuk membawa aspirasi masyarakat itu ke pimpinan Berau Coal di Jakarta. “Saya meminta waktu sampai Kamis, 11 Maret 2013 guna menyampaikan tuntutan masyarakat ini ke jajaran pimpinan Berau Coal,” tukasnya.

Demonstran Duduki Kantor

Dari informasi yang dihimpun Dunia Energi, unjuk rasa yang berlangsung pada Jumat pekan lalu di depan kantor Berau Coal di Tanjung Redeb, mengatasnamakan Aliansi Masyarakat Berau Bersatu (AMBB). Hingga saat ini, puluhan perwakilan demonstran masih bertahan di depan kantor Berau Coal, sampai mendapat jawaban atas tuntutan mereka pada Kamis, 11 April 2013.

Mereka pun tidak hanya menuntut kepemilikan 30% saham Berau Coal diserahkan ke pemda, tetapi menyertakan dua tuntutan lainnya. Dua tuntutan lainnya yang disuarakan AMBB adalah, pemberian sumbangan dari Berau Coal kepada pihak ketiga sebesar Rp 1.000,- per metrik ton, dan transparansi serta peningkatan dana Corporate Social Responsibility (CSR) PT Berau Coal.

Soal permintaan sumbangan pihak ketiga itu, Bintoro mengaku perusahaannya juga sulit meluluskan, karena dilarang oleh peraturan perundang-undangan. Yakni Surat Edaran nomor: 02.E/30/DJB/2012 tentang SKAB dan Nomor 03.E/30/DJB/2012 tentang pelarangan pungutan sumbangan pihak ketiga.

Dua surat edaran itu ditandatangani Direktur Jenderal (Dirjen) Minerba Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM). Ditambah lagi adanya Surat Edaran Menteri Dalam Negeri (Mendagri) nomor: 188/2010 tanggal 5 Januari 2010, tentang Penataan Peraturan Daerah Tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah, berupa larangan pungutan sumbangan pihak ketiga.

Terkait tuntutan ketiga, Bintoro mengaku selama ini Berau Coal terus meningkatkan dana CSR-nya setiap tahun. Pelaksanaan program CSR juga selalu melibatkan seluruh elemen masyarakat daerah, dan dilaporkan setiap tahun sebagai wujud transparansi lewat dokumen Sustainability Report yang bisa diakses masyarakat umum.

(Abraham Lagaligo/abrahamlagaligo@gmail.com)