JAKARTA– PT Bursa Efek Indonesia (BEI) masih mendorong proses divestasi saham PT Freeport Indonesia, anak usaha salah satu perusahaan tambang tembaga terbesar di dunia Freeport-McMoRan Copper & Gold Inc, melalui skema penawaran umum saham perdana (initial public offering/IPO) agar perusahaan  lebih transparan.

Tito Sulistio, Direktur Utama BEI, mengatakan jika Freeport Indonesia melakukan IPO, BEI mengusulkan untuk melepas saham ke publik sebesar 20%. Dana Pensiun dan perusahaan asuransi nasional diusulkan menjadi prioritas untuk menyerap saham itu.

“Saya mengusulkan saham Freeport yang ke publik itu diberikan ke rakyat Indonesia, siapa itu rakyat Indonesia, yakni Ddana Pensiun, asuransi seperti PT Taspen, Asabri, Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS), dan lembaga lainnya yang dapat mensejahterakan rakyat Indonesia sehingga rakyat Indonesia bisa menikmati,” kata Tito seperti dikutip Antara di Jakarta, Rabu (22/2).

Sebagai informasi, aturan divestasi melalui IPO ini merupakan rekomendasi Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral di dalam revisi Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 23 Tahun 2010. Di dalam rapat terbatas yang diselenggarakan kemarin, Presiden Joko Widodo juga meminta perusahaan tambang asing untuk divestasi paling banyak sebesar 51%.

Menurut PP Nomor 77 Tahun 2014, Freeport diwajibkan melepas saham sebesar 30% ke investor nasional karena diklasifikasikan sebagai perusahaan pertambangan bawah tanah (underground mining). Lantaran saat ini pemerintah telah mengempit saham Freeport Indonesia sebesar 9,36%, itu artinya masih terdapat sisa saham sekitar 20,64% yang harus dilepas perusahaan tambang asal Amerika Serikat tersebut.

Namun untuk tahap awal, Freeport hanya diwajibkan melepas 10,64% sahamnya guna menggenapi 9,36% yang telah dipegang oleh pemerintah sehingga menjadi 20% . Sementara 10% sisanya baru masuk masa penawaran divestasi pada 2020. Akhirnya, pada 14 Januari 2016 lalu, Freeport menawarkan divestasi saham dengan nilai US$1,7 miliar dari total valuasi 100% saham sebesar US$16,2 miliar.

Menurut Tito , pelaksanaan IPO PT Freeport Indonesia juga dapat membawa pengaruh positif terhadap industri pasar modal di dalam negeri. Apalagi, jika harga komoditas dunia kembali membaik, kinerja Freeport Indonesia ikut terdongkrak.

Kendati demikian, dia mengatakan BEI tidak dapat mendorong perusahaan itu melakukan IPO yang dilakukan Bursa hanya mengusulkan pelaksanaan IPO.

“Sebelumnya, BEI sudah bicara dengan Pak Chappy Hakim (Presiden Direktur PT Freeport Indonesia), namun dia saat ini sudah tidak menjabat, mau istirahat. Tidak tahu yang baru siapa,” ujar Tito.

President dan CEO Freeport McMoRan Richard C Adkerson sebelumnya  mengatakan Chappy Hakim mundur sebagai Presiden Direktur PT Freeport Indonesia murni merupakan keputusan pribadi. Meski memutuskan untuk mundur, Chappy  tapi tetap aktif menjadi penasihat senior  perusahaan. “Kami mengapresiasi Pak Chappy,” katanya  pada Senin (20/2).

Satrio Utomo, Kepala Riset Universal Broker Indonesia Satrio Utomo, mengatakan bursa saham merupakan kontrol yang baik bagi masyarakat untuk memantau kinerja perusahaan tambang. Karena perusahaan tambang asing telah mengambil sumber daya alam (SDA) yang dimiliki masyarakat. Hal itu sesuai dengan Pasal 33 Undang-Undang Dasar (UUD) 1945, di mana sumber daya alam perlu digunakan untuk kemakmuran masyarakat Indonesia.

“Perusahaan ini pasti akan melaporkan laporan keuangan jika menjadi perusahaan terbuka. Kalau sudah menjadi perusahaan terbuka, maka mereka juga harus jujur, transparan, dan mereka juga harus merespons pertanyaan masyarakat,” katanya.

Menurut dia, kapitalisasi pasar perusahaan tambang asing pasti akan sangat besar di Indonesia. Satrio mencontohkan PT Freeport Indonesia yang kemungkinan bisa memiliki kapitalisasi pasar yang besar sehingga analis pasar pasti akan meninjau segala aspek terkait perusahaan asal Amerika Serikat tersebut.

“Kalau analis akan mengejar sampai detail-detailnya sehingga Freeport tidak bisa menyembunyikan apa-apa. Selain itu, Indonesia selalu dibuai kalau Freeport ini hanya menambang tembaga, tapi kan emasnya juga lebih besar. Kalau tidak berbentuk perusahaan Terbuka, cadangan ini tidak bisa dibuktikan. Coba kalau dibuka dari dulu, para analis mungkin sudah melakukan serangkaian investigasi,” jelasnya. (DR)