JAKARTA – Penerapan Enhance Oil Recovery (EOR) untuk menggenjot produksi minyak dan gas berpotesi turut menambah beban keuangan negara. Pasalnya, biaya EOR akan dibayarkan kembali oleh pemerintah dalam bentuk cost recovery.

Saleh Abdurrahman, Sekretaris Jenderal Dewan Energi Nasional (DEN), mengungkapkan dalam Rencana Umum Energi Nasional (RUEN), EOR menjadi salah satu cara untuk meningkatkan produksi minyak nasional.

Implementasi EOR harus diawasi secara ketat karena membutuhkan teknologi yang belum familiar dengan industri migas di tanah air. Oleh karena itu dibutuhkan dana yang cukup besar, terlebih dengan harga minyak yang saat ini sedang rendah.

“Pada tingkat harga minyak seperti ini gimana? Apakah akan membebani cost recovery,  kaitannya kan dengan beban negara,” kata Saleh usai konferensi pers di Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), Kamis (12/10).

Di Indonesia, penerapan EOR yang sukses dan menghasilkan produksi besar saat ini baru bisa direalisasikan di Blok Rokan yang dikelola PT Chevron Pacific Indonesia.

Data Indonesia Petroleum Association menyebut metode EOR tidak hanya di Blok Rokan, juga ada beberapa blok lain yang memasuki tahapan uji coba metode EOR, seperti Lapangan Kaji, Widuri, Minas, Tanjung dan Limau dengan total potensi produksi sebesar 105.250 barel per hari (bph).

Dalam RUEN pemerintah menargetkan peningkatan reserve replacement ratio temuan cadangan terhadap produksi hingga 100% dibanding saat ini hanya sekitar 60%.

Bahkan, pada 2050 ditargetkan bisa ditemukan 2,5 miliar barel cadangan minyak yang bisa dipulihkan dengan EOR.

Menurut Saleh, dengan potensi tersebut maka kajian terhadap EOR harus dipertahankan, meskipun penerapannya dilakukan secara bertahap dan tidak terburu-buru.

“Prinsipnya itu dari rapat di RUEN kami mengatakan bahwa EOR potensi menaikkan produksi, namun cost-nya mahal,” ungkap Saleh.

Disisi pemerintah meminta para Kontraktor Kontrak Kerja Sama (KKKS) untuk bisa menjalankan metode EOR dengan efisien.  Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Migas (SKK Migas) juga diamanatkan untuk selektif dalam memberikan persetujuan pelaksanaan EOR oleh KKKS.

“Karena itu Pak Menteri minta supaya biaya produksi diminimalkan, diefisiensikan. Perusahaan harus efisien bagaimana menemukan cara terbaik untuk bisa biaya produksi EOR bisa kompetitif atau efisien,” kata Saleh.

Ego Syahrial l, Direktur Jenderal Migas Kementerian ESDM,  menegaskan untuk  metode EOR tidak cocok diterapkan dengan terburu-buru di Indonesia. Apalagi jika melihat sisi kompleksitas geologi. Jika dipaksakan maka dibutuhkan dana yang tidak sedikit.

“Seluruh proposal EOR di Indonesia itu adalah proposal yang remaining reservenya (cadangan) dibawah 30 juta-40 juta BAREL. Sangat tidak ekonomis dengan harga minyak apalagi kondisi sekarang,” kata Ego.(RI)