JAKARTA– PT Pertamina (Persero), badan usaha milik negara di sektor energi terintegrasi, mencatatkan kinerja kurang moncer pada kuartal I 2018. Hal itu ditunjukkan dari laba bersih yang turun sangat signifikan menjadi US$ 100 juta atau setara Rp 1,4 triliun (kurs Rp 14.000 per dolar AS), dibandingkan periode kuartal I 2017 yang mencapai US$760 juta (year-on-year) dan 2016 yang mencapai US$ 1,01 miliar.

Berdasarkan data yang diperoleh Dunia-Energi, sepanjang Januari-Maret 2018 Pertamina membukukan pendapatan sebesar US$ 11,77 miliar atau sekitar Rp163,8 triliun, naik dibandingkan periode sama tahun lalu US$ 10,15 miliar. Pendapatan perseroan masih ditopang sektor hilir mencakup pemasaran dan pengolahan

Peningkatan pendapatan perusahaan salah satunya dipicu oleh harga minyak domestik atau Indonesia Crude Price (ICP) yang naik dari US$ 51,03 per barel pada kuartal I 2017 menjadi rata-rata US$ 63,02 per barel pada kuartal II 2018. Sementara itu, realisasi belanja modal (capital expenditure/capex) per kuartal I2018 sebesar US$0,44 miliar, turun dari US$ 1,1 miliar (year-on-year).

Namun, besarnya pendapatan Pertamina pada kuartal I 2018 tak ditopang oleh belanja penjualan dan biaya operasi yang ternyata juga tinggi. Total harga pokok penjualan (cost of good sold/ COGS) dan biaya operasi perusahaan mencapai US$ 11,01 miiliar, naik dibandingkan periode kuartal I 2017 yang tercatat US$ 10,15 miliar (year-on-year).

Sektor hulu Pertamina, masih memberi kontribusi positif, kendati masih di bawah sektor hilir. Pada periode Januari-April 2018, sektor hulu Pertamina (yang memproduksi migas di dalam dan luar negeri, produksi uap panas bumi, serta jasa pengeboran migas dan energi baru terbarukan), mencatatkan pendapatan (unaudited) sebesar US$ 3.275 juta atau setara Rp 52 triliun (kurs Rp 14.000 per dolar AS) hingga April 2018. Raihan pendapatan ini naik 52,7% dibandingkan periode sama 2017 sebesar US$ 2.438 juta. Syamsu Alam, Direktur Hulu Pertamina EP, mengatakan realisasi pendapatan itu sekitar 45,1% dari proyeksi pendapatan sektor hulu sepanjang 2018 sebesar US$8.248 juta dan laba bersih sebesar US$ 800 juta. (Dunia-Energi, Selasa, 5/6).

Peningkatan penjualan sektor hulu Pertamina ditopang oleh kenaikan produksi minyak sebesar 14% menjadi 386 ribu barel per hari dari 337 barel per hari (year-on-year) dan produksi gas naik 55% menjadi 3.115 juta standar kaki kubik per hari (mmscfd) dari 2.007 mmscfd year-on-year. Pendapatan juga berasal dari produksi panas bumi setara listrik yang nauk 1% menjadi 959 GWH (year-on-year).

PT Pertamina EP, anak usaha Pertamina di sektor hulu, pada kuartal I memberikan kontribusi terhadap pendapatan perusahaan sebesar US$ 675 juta atau sekitar Rp9,45 triliun (kurs Rp14.000 per dolr AS). Raihan penjualan bersih ini naik 115% dibandingkan periode sama 2017 (year-on-year) sebesar US$ 586 juta, namun masih di bawah target periode Januar-Maret tahun ini sebesar US$ 682 juta. Nanang Abdul Manaf, Presiden Direktur PT Pertamina EP, mengatakan raihan pendapatan ini ditopang oleh mulai naiknya harga minyak global dan kebijakan efisiensi perusahaan. “Salah satunya adalah menekan biaya produksi,” ujar Nanang.(Dunia-Energi, Kamis, 24/5).

Sepanjang kuartal I 2018, Pertamina EP mencatatkan produksi minyak 76.207 barel per hari. Ini sekitar 96% dari target kuartal I tahun ini sebesar 79.460 barel per hari atau 92% dari target 2018 sebesar 83 ribu barel per hari. Produksi minyak kuartal I tahun ini lebih rendah dibandingkan periode sama tahun lalu sebesar 79.504 barel per hari. “Ini karena realisasi produksi bor dan work over tidak mencapai target dan kendala operasi di beberapa field,” kata Nanang.

Direktur Keuangan Pertamina Arif Budiman (Foto: Dokumentasi Pertamina EP)

Arif Budiman, Direktur Keuangan Pertamina, saat dikonfirmasi, mengaku tidak mengetahui data laporan keuangan tersebut. Arif hanya menyatakan bahwa angka-angka masih sementara karena masih ada diskusi mengenai subsidi bahan bakar minyak.

“Mengenai COGS mungkin yang dapat saya sampaikan harga ICP minyak mentah naik 23-24% (year on year) sementara pada Maret 2018 naiknya 21%. Jadi lajunya sebetulnya untuk sementara lebih rendah,” ujar Arif kepada Dunia-Energi.

Komaidi Notonegoro, Direktur Eksekutif ReforMiner Institute, menjelaskan salah satu penyebab COGS naik pada tahun ini adalah harga minyak mentah yang meningkat. Dengan demikian secara tidak langsung akan meningkatkan COGS. “Naiknya harga minyak umumnya juga diikuti oleh penaikan harga komponen biaya produksi kilang yang lain,” jelas Komaidi kepada Dunia-Energi.

Direktur Eksekutif ReforMiner Institute Komaidi Notonegoro  (kiri berkacamata). (Foto: Tatan A Rustandi/Dunia-Energi)

Dia membenarkan pernyataan Direktur Keuangan Pertamina Arif Budiman bahwa saat ini baru kuartal I dan masih ada sejumlah data yang masih dapat terkonsolidasi sampai dengan akhir tahun. Hasil konsolidai tersebut bisa membaik atau sebaliknya. “Itu bergantung pada kebijakan pemerintah pada paruh kedua 2018, terutama yang menyangkut kebijakan harga BBM,” ujarnya.

Komaidi menilai, sektor hilir memang masih member kontribusi pendapatan terbesar bagi kinerja keuangan Pertamina selang beberapa tahun terakhir. Hanya saja, kendati pendapatannya besar, untungnya relatif kecil dibandingkan pendapatan yang dibukukan di sektor hulu. “Sudah jelas penyebabnya, biaya produksi naik tapi harga jual BBM tetap. Bagaimana mau untung,” katanya.

Dalam kondisi saat ini, menurut Komaidi, relatif tidak banyak yang dapat dilakukan Pertamina. Normatifnya, melakukan efisiensi. “Tetapi, sejauh mana efisiensi yang dapat dilakuan mampu mengkaver kebijakan yang secara bisnis memang tidak tepat,” ujarnya.

Namun, kinerja Pertamina di kuartal I 2018, tak sejeblok PT PLN (Persero). Badan usaha milik di sektor ketenagalistrkan ini justru rugi cukup dalam di kuartal I 2018 sebesar Rp6,49 triliun dibandingkan laba bersih Rp510,17 miliar pada periode sama tahun lalu.

Dikutip dari laporan keuangan PLN untuk periode tiga bulan yang berakhir 31 Maret 2018 dan 2017, jumlah beban usaha PLN naik menjadi Rp 70,35 triliun dari Rp 60,63 triliun pada periode yang sama tahun lalu. Kenaikan beban usaha terutama dari biaya bahan bakar dan pelumas yang melonjak dari Rp 27,66 triliun di kuartal I 2017 menjadi Rp 33,52 triliun pada kuartal pertama tahun ini. Biaya pembelian tenaga listrik juga meningkat dari Rp 15,15 triliun menjadi Rp 18,14 triliun. (DR)