JAKARTA – PT PLN (Persero) membukukan laba bersih Rp10,5 triliun pada tahun lalu, turun 32,69% dibanding 2015 sebesar Rp15,6 triliun. Penurunan laba bersih disebabkan tekanan dari beban usaha non operasional seperti pajak dan nilai penyusutan aset sebagai akibat dari revaluasi aset yang dilakukan perusahaan.

“Untuk tax amnesty sendiri kita setorkan sekitar Rp 5 triliun,” ujar Sarwoto Sudarto, Direktur Keuangan PLN di Jakarta.

Selain itu, inisiatif untuk menekan biaya untuk menjadikan tarif listrik makin kompetitif ikut menambah beban PLN.

Menurut Nicke Widyawati, Direktur Perencanaan , PLN berusaha untuk memberikan tarif kompetitif bagi masyarakat dan dunia usaha. Pada 2016, harga jual tenaga listrik PLN mampu ditekan sebesar 4% atau Rp41 per KWh dengan rata-rata harga jual sebesar Rp994 per KWh dari Rp1.035 per KWh pada 2015.

Menurut Nicke, peningkatan beban perusahaan bisa diimbangi efisiensi internal, sehingga laba PLN tidak tertekan lebih dalam. Salah satu upaya efisiensi adalah melalui substitusi penggunaan bahan bakar minyak (BBM) dengan penggunaan batu bara atau energi primer lain yang lebih murah.

“Efisiensi terlihat dari berkurangnya biaya BBM sebesar Rp 12,3 triliun sehingga pada 2016 menjadi Rp 22,8 trilliun atau turun 35,03% dibanding 2015 yang membutuhkan Rp 35 trilliun. Konsumsi BBM juga turun 0,8 juta kilo liter (KL) menjadi sebesar 4,7 juta KL,” ungkap dia.

Nicke mengatakan stabilitas tarif listrik juga turut mendorong peningkatan konsumsi listrik dengan bertambahnya jumlah pelanggan. Data perusahaan hingga akhir 2016, pelanggan PLN telah mencapai 64,3 juta atau bertambah 3,1 juta pelanggan dibanding akhir 2015 sebanyak 61,2 juta pelanggan.

Bertambahnya jumlah pelanggan ini juga mendorong kenaikan rasio elektrifikasi nasional yaitu dari 88.3% pada Desember 2015 menjadi 91,16% pada Desember 2016.

“Ini melampaui target rasio elektrifikasi 2016 yakni sebesar 90.15%,” kata Nicke.(RI)