JAKARTA – PT Chevron Pacific Indonesia menyatakan tidak akan terburu-buru dalam melanjutkan investasinya di Indonesia, termasuk untuk melanjutkan proyek minyak dan gas laut dalam atau Indonesia Deepwater Development (IDD).

Yanto Sianipar, Senior Vice President Policy, Government and Public Affairs Chevron Pacific Indonesia, mengatakan Chevron hingga saat ini masih terus memantau berbagai kebijakan baru yang dikeluarkan pemerintah. Kelanjutan investasi Chevron tidak hanya dilihat dari sisi ketersediaan cadangan, tapi juga dari berbagai aspek yang mempengaruhi kepastian usaha.

“Chevron melihat investasi di Indonesia dari seluruh sisi, khususnya dari sisi kepastian usaha. Jadi bukan satu dua saja yang dilihat, tapi banyak hal. Dari sisi regulasi, kepastian pelaksanaan UU. Jadi itu memang jadi kumulasi “concern” yang harus kita pertimbangkan di Indonesia,” kata Yanto di Jakarta, Selasa (16/5).

Menurut Yanto, untuk proyek IDD saat ini masih dilakukan kajian lanjutan. Chevron menilai ada berbagai hal yang harus direvisi dari rencana pengembangan (plan of development/PoD) yang sempat diajukan pada 2008. Hingga saat ini pemerintah masih menunggu hasil revisi dari PoD tersebut.

“Opportunity banyak bukan hanya cadangan, tapi kita lihat aspek efisiensi biaya, teknologi, pemanfaatan fasilitas. Nanti studi akan jadi evaluasi gabungan,” ungkap dia.

Chevron tidak lagi bisa menggunakan hasil PoD 2008 sebagai patokan dalam kelanjutan studi kali ini karena berbagai parameter kajian yang sudah jauh berubah seperti misalnya harga minyak dunia serta berbagai kebijakan baru pemerintah. “Jadi tidak bisa refer ke studi yang dulu karena kita lakukan revisi. Tidak bisa ikut studi yang 2008. Dari studi baru kita akan melakukan revisi PoD,” kata Yanto.

Arcandra Tahar, Wakil Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), sebelumnya mengatakan keengganan Chevron untuk melanjutkan proyek IDD bisa jadi merupakan salah satu strategi perusahaan menyelesaikan masalah Branch Profit Tax (BPT) dalam pengalihan kepemilikan saham yang melibatkan Inpex Corporation.

“Proyek IDD itu ada branch profit tax, mereka yang belum selesai. Saya tidak tahu strateginya Chevron, jadi ini sudah masuk dispute pajak,” kata Arcandra.

Namun Yanto membantah molornya proyek IDD karena ganjalan kasus yang pernah dialami Chevron tersebut. Menurut dia, perkembangan yang terjadi di industri migas internasional dan nasional menjadi bahan pertimbangan perusahaan dalam mengambil keputusan.

Proyek IDD merupakan proyek laut dalam pertama di Indonesia yang memiliki tiga kontrak bagi hasil (production sharing contract/PSC) yakni Ganal, Rapak dan Makassar Strait. Pengembangan dilakukan di lima ladang migas, yakni Bangka, Gehem, Gendalo, Maha dan Gandang.

Menurut Yanto, salah satu lapangan proyek IDD yakni Lapangan Bangka merupakan milestone pertama IDD yang berkapasitas produksi gas 110 juta kaki kubik per hari (MMSCFD) serta 4 ribu barel kondensat sudah mulai produksi tahap pertama pada tahun lalu. Untuk milestone berikutnya ini yang masih harus menunggu hasil studi untuk membuat proyek ekonomis dengan kondisi harga minyak saat ini.

“Ada perubahan informasi yang kita punya dan membutuhkan beberapa inisiatif yang bersifat membutuhkan modal. Kita bisa terus mengikuti perkembangan dan dinamika harga minyak dengan opportunity di lapangan,” tandas Yanto.(RI)