Bachtiar Abdul Fatah.

Bachtiar Abdul Fatah.

JAKARTA – Majelis Hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta Pusat pada Kamis, 4 Juli 2013, telah membacakan putusan sela atas terdakwa kasus bioremediasi, Bachtiar Abdul Fatah. Karyawan PT Chevron Pacific Indonesia ini pun mengajukan perlawanan, atas putusan sela yang menolak mengabulkan semua keberatan dan permohonan penangguhan penahanannya. Terkait perlawanan ini, maka sesuai Undang-Undang, persidangan terhadap Bachtiar harus dihentikan sementara.

Seperti diketahui, sebelumnya Bachtiar telah menyampaikan eksepsi, atau keberatan atas dakwaan jaksa penuntut umum dalam kasus bioremediasi. Bachtiar melalui penasehat hukumnya, Maqdir Ismail menyatakan, Pengadilan Tipikor tidak berwenang mengadili kasus bioremediasi, yang merupakan perkara bidang hukum lingkungan.

Mestinya, perkara bioremediasi ini diadili di pengadilan negeri, sesuai aturan dalam Undang-Undang (UU) Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. Terlebih, pada November 2012 silam, Bachtiar telah dibebaskan dan dinyatakan tidak terkait dengan kasus bioremediasi, oleh Putusan Praperadilan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan.

Selain itu, Bachtiar dalam eksepsinya juga meminta majelis hakim Pengadilan Tipikor menangguhkan penahanannya. Mengingat Putusan Praperadilan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, juga telah menyatakan penahanan atas dirinya tidak sah. Putusan praperadilan itu telah berkekuatan hukum tetap, dan tidak ada pembatalan oleh putusan dari peradilan yang lebih tinggi, yakni Mahkamah Agung (MA).

Sayangnya, dalam putusan sela yang dibacakan hari ini, majelis hakim Pengadilan Tipikor Jakarta Pusat, menyatakan akan tetap mengadili kasusnya, dengan menolak semua keberatan Bachtiar. Majelis hakim tipikor pun belum mengabulkan permohonan penanggunan penahanan yang diajukan Bachtiar.

Demi mendengar isi putusan sela itu, Bachtiar pun dengan tegas mengajukan perlawanan hukum. Menurut Maqdir Ismail, perlawanan terhadap Putusan Sela ini telah diatur secara tegas oleh UU Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana, dan merupakan hak Pemohon (in casu Terdakwa).

Dengan adanya perlawanan dari Bachtiar ini, maka sesuai Pasal 156 ayat (4) UU 8/1981, maka berkas perkara Bachtiar harus dikirimkan kepada Pengadilan Tinggi, yang memeriksa kewenangan relatif dari pengadilan tipikor, yang menganggap berwenang mengadili perkara tersebut.

Dengan begitu, maka berdasarkan pasal dan ayat yang sama dalam UU 8/1981, pengadilan tipikor wajib menghentikan persidangan sementara, sampai ada putusan pengadilan tinggi. “Jika majelis hakim masih melanjutkan persidangan sebelum ada putusan pengadilan tinggi, itu artinya hak-hak konstitusional Bachtiar sebagai terdakwa telah dilanggar,” tegas Maqdir.

(Abraham Lagaligo / abrahamlagaligo@gmail.com)