JAKARTA- Oknum pemburu rente dicurigai berada dibelakang sikap Gubernur Kaltim Awang Farouk yang memaksa agar BUMD milik Provinsi Kaltim dan Kutai Kartanegara memperoleh 19 persen Participating Interest (PI) di Blok Mahakam. “Pada 2010 Pemda Kaltim telah menandatangani MoU dengan satu perusahaan swasta guna mendanai kebutuhan finansial atas pemilikan PI di Blok Mahakam. Karena itu sikap “keras kepala” Pemda Kaltim untuk memperoleh 19 persen PI Mahakam patut diduga berkaitan dengan MoU tersebut, “ ujar Marwan Batubara, Direktur Direktur Eksekutif Indonesian Resources Studies (IRESS)

Untuk itu, menurut Marwan, Kementerian ESDM (KESDM) harus menolak permintaan Gubernur Kaltim Awang Farouk yang memaksa agar BUMD milik Provinsi Kaltim dan Kutai Kartanegara memperoleh 19 persen Participating Interest (PI) di Blok Mahakam. Permintaan tersebut bertentangan dengan keputusan Pemerintah Pusat seperti tertuang dalam Permen ESDM N0.15/2015, yang telah menetapkan bahwa besarnya PI maksimum bagi daerah penghasil migas adalah 10 persen.

Perlu disadari bahwa sesuai PP No.55/2005 tentang Dana Perimbangan, daerah penghasil migas memperoleh 15,5 persen penerimaan negara atas eksploitasi migas. Dana bagi hasil ini merupakan penerimaan yang sudah sangat besar bagi daerah penghasil jika dibandingkan dengan penerimaan daerah-daerah yang tidak memiliki sumber daya migas. Penerimaan daerah penghasil menjadi semakin besar dengan adanya keuntungan dari 10 persen PI daerah. Apalagi jika PI tersebut meningkat menjadi 19 persen.

Sehubungan dengan hal di atas, guna menjaga rasa kebersamaan dan keadilan bagi rakyat yang tidak memiliki sumber daya migas atau sumber daya alam lain, maka Presiden Jokowi dituntut untuk segera menolak permintaan Gubernur Kaltim di atas. Hal ini sekaligus untuk menunjukkan bahwa seluruh rakyat masih berada dalam satu negara, yakni Negara Kesatuan Republik Indonesia, dan Pemerintah Pusat berdaulat menjalankan pemerintahan yang adil dan berdiri di atas seluruh kepentingan nasional, bebas dari tekanan oknum-oknum yang berorientasi kepentingan sempit.

Berdasarkan data finansial SKK Migas sejak 1997 hingga 2014, distribusi pendapatan kotor kegiatan eksploitasi Blok Mahakam rata-rata terbagi untuk penerimaan negara sekitar 60 persen, cost recovery 18 persen dan keuntungan kontaktor 22 persen. Dalam 18 tahun terakhir penerimaan negara sekitar US$ 70 miliar. Berarti dari dana bagi hasil, selama 18 tahun terakhir daerah telah memperoleh sekitar US$ 10,5 miliar. Berarti setiap tahun daerah memperoleh US$ 500 juta atau sekitar Rp 6,5 triliun.

Selama 18 tahun terakhir keuntungan kontraktor sekitar US$ 26 miliar, atau rata-rata US$ 1,47 miliar per tahun. Jika diasumsikan, karena secara alami produksi migas sejak 2018 turun menjadi 80 persen terhadap produksi rata-rata selama ini, maka keuntungan kontraktor turun menjadi sekitar US$ 1,2 miliar atau sekitar Rp 16 triliun per tahun. Jika PI BUMD 10 persen, maka disamping memperoleh dana bagi hasil Rp 6,5 triliun per tahun, daerah penghasil juga memperoleh tambahan pendapatan dari PI sekitar Rp 1,6 triliun per tahun.

Kalau skenario kerja sama dengan swasta ini berjalan, menurut Marwan, keuntungan yang diperoleh daerah akan turun sekitar 60-75 persen, sehingga pemberlakuan Permen ESDM No.15/2015 merupakan langkah tepat untuk mencegah kerugian tersebut.