JAKARTA– PT PLN (Persero), badan usaha milik negara di sektor ketenagalistrikan, mengklaim arus kas perusahaan hingga kuartal III 2018 dalam kondisi sehat. Hal ini salah satunya ditopang oleh penjualan yang mencapai Rp194,4 triliun, naik 6,93% atau Rp12,6 triliun dibandingkan periode sama 2017 sebesar Rp181,8 triliun.

Sarwono Sudarto, Direktur Keuangan PLN, mengatakan volume penjualan sampai dengan September 2018 sebesar 173 Terra Watt hour (TWh) atau tumbuh 4,87% dibanding dengan tahun lalu sebesar 165,1 TWh. Perusahaan terus mempertahankan tarif listrik tidak naik, untuk menjaga daya vbeli masyarakat dan agar bisnis serta industri semakin kompetitif guna mendukung pertumbuhan ekonomi nasional.

Hingga akhir September 2018, jumlah pelanggan PLN mencapai 70,6 juta atau bertambah 2,5 juta pelanggan dari akhir 2017. Hal ini mendorong kenaikan rasio elektrifikasi nasional dari 95,07% pada 31 Desember 2017 menjadi 98,05% pada 30 September 2018. “Capaian rasio elektrifikasi ini telah melebihi target 2018 yang dipatok sebesar 96,7%,” ujarnya.

Sarwono mengatakan, secara operasional perusahaan mengalami laba sebelum selisih kurs pada kuartal III 2018 sebesar Rp9,6 triliun, meningkat 13,3% dibandingkan tahun lalu yaitu sebesar Rp8,5 triliun. “Keadaan PLN jelas sehat secara cash flow karena terpenting itu adalah bagaimana menjaga kesehatan cash flow. PLN dalam kondisi yang sehat, ” katanya.

Kenaikan laba tersebut ditopang oleh kenaikan penjualan dan efisiensi yang dilakukan oleh perusahaan serta adanya kebijakan pemerintah terkait kewajiban pasokan domestik (DMO) harga batubara.

Sarwono menjelaskan, kendati sebagian besar pinjaman PLN masih akan jatuh tempo pada 10-30 tahun mendatang, berdasarkan standar akuntansi yang berlaku dan hanya untuk keperluan pelaporan keuangan maka pinjaman valas tersebut harus diterjemahkan (kurs) kedalam mata uang rupiah. Dengan demikian, memunculkan adanya pembukuan rugi selisih kurs yang belum jatuh tempo (unrealized loss) sebesar Rp17 triliun.

Unrealized forex loss atau kerugian secara pembukuan akibat kenaikan kurs mata uang asing, namun tidak berdampak kepada arus kas,” ujar Sarwono seperti dikutip antaranews.com.

Unrealize forex loss yang tercatat pada laporan keuangan PLN akibat terjadinya pelemahan rupiah. Di sisi lain, PLN memiliki kewajiban atau utang dalam bentuk dolar, bahkan seringkali kontrak PLN dengan pembangkit listrik swasta (Independent Power Producer/IPP)) pun dalam bentuk dolar AS.

“Kalau kewajiban jangka panjangnya dihitung berdasarkan kurs sekarang ini, akan terjadi yang disebut unrealize forex loss. Kewajiban jangka panjang tersebut masih jauh masa jatuh temponya, namun utang tersebut harus dibukukan (tercatat) dengan kurs saat ini. Itulah kenapa disebut unrealize,” ujar Sarwono. (RA)