Kampanye PLN Bersih

JAKARTA – Setiap orang tentu mendambakan keamanan dan untung berkelanjutan, dan setiap investasi yang ditanamkannya. PT PLN (Persero), salah satu perusahaan yang baru saja menerbitkan Obligasi dan Sukuk Ijarah Berkelanjutan tahun ini, menjanjikan pertumbuhan dan pembayaran tepat waktu.

 Janji ini rasanya tidak berlebihan, mengingat selain berstatus Badan Usaha Milik Negara (BUMN), PLN juga merupakan pemain tunggal di bisnis hilir kelistrikan Indonesia.

“PLN memiliki entry barrier yang tinggi (sulit disaingi oleh pemain lain di sektor yang sama, red), sehingga memberikan competitive advantage yang baik bagi PLN untuk terus melakukan pengembangan,” ujar Direktur Utama PLN, Nur Pamudji.

Menurutnya, dengan perkiraan pertumbuhan permintaan tenaga listrik nasional rata-rata lebih kurang 8,65% per tahun untuk 10 tahun mendatang, dan keterbatasan kapasitas pasokan tenaga listrik di Indonesia, memberikan kesempatan pada PLN untuk terus tumbuh.

Sampai saat ini, ujarnya, PLN telah menerbitkan Obligasi Konvensional Rupiah sebanyak 12 (dua belas) kali, dan Obligasi Syariah 5 (lima) kali senilai total Rp 18,78 triliun, serta Global Bonds 6 (enam) kali senilai total US$ 6.0 miliar.

“Semua kewajiban pembayaran obligasi tersebut selalu dibayar tepat waktu, termasuk pada saat terjadinya krisis ekonomi di Indonesia,” tukas Nur Pamudji di Jakarta, awal pekan ini.

Tahun ini, PLN berencana menerbitkan Obligasi Berkelanjutan I Tahap 1 Tahun 2013 sebanyak-banyaknya sebesar Rp 2,5 triliun, dan Sukuk Ijarah Berkelanjutan I Tahap I Tahun 2013 sebanyak-banyaknya Rp500 miliar.

Masa penawaran awal (bookbuilding) surat utang PLN ini, telah dibuka mulai 17 Juni hingga 21 Juni 2013, dilanjutkan dengan penentuan kupon dan cicilan imbalan ijarah pada 24 Juni 2013.

PLN berharap dapat memperoleh izin efektif dari Otoritas Jasa Keuangan (OJK) pada 27 Juni 2013, sehingga dapat melakukan penawaran umum pada 1 Juli hingga 2 Juli 2013, dan diakhiri dengan pencatatan di Bursa Efek Indonesia (BEI) pada 8 Juli 2013.

Berdasarkan laporan keuangan tahun 2012 yang telah diaudit oleh kantor akuntan publik (KAP) Osman Bing Satrio dan Eny, pendapatan usaha PLN pada 2012 tercatat sebesar Rp 232,7 triliun, naik 12% dari pendapatan usaha 2011 sebesar Rp 208 triliun.

Meningkatnya pendapatan usaha di 2012 ini, kata Nur Pamudji, terutama berasal dari kenaikan penjualan tenaga listrik. Tercatat sepanjang tahun lalu, terjadi penambahan jumlah pelanggan PLN sebesar 3.900.104, dan penambahan volume penjualan listrik sebesar 15.998 GWh.

Sementara itu, beban usaha sepanjang 2012 tercatat sebesar Rp 203,1 triliun, meningkat 9% dibandingkan 2011 yang mencatatkan angka Rp 185,6 triliun. Adapun beban usaha di 2010 tercatat sebesar Rp 141,7 triliun.

Meningkatnya beban usaha ini karena peningkatan konsumsi bahan bakar dan pelumas, serta pembelian tenaga listrik untuk memenuhi peningkatan permintaan listrik dari masyarakat. Selain itu. terjadi peningkatan penyusutan akibat meningkatnya jumlah aset PLN.

Aset Terus Meningkat

Aset tidak lancar PLN mengalami kenaikan 15%, dari Rp 409,5 triliun pada 31 Desember 2011, menjadi Rp 472,1 triliun pada 2012. Hal ini terutama karena pada 2012 mulai beroperasi beberapa pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) yang merupakan bagian dari proyek percepatan pembangunan pembangkit listrik 10.000 Megawatt (MW) tahap 1.  

PLTU 10.000 MW PLN yang sudah beroprasi sejak 2012 adalah PLTU Lontar Unit 2 dan 3, PLTU Paiton, PLTGU Tanjung Priok, PLTU Suralaya, PLTP Ulubelu Unit 1 dan 2, PLTU Kendari Unit 2, PLTU Amurang Unit 1 dan 2, PLTU Barru Unit 1 dan 2 juga masuknya PLTU Tanjung Jati B Unit 4 dan beberapa IPP baru seperti PLTU Paiton III, PLTU Cirebon, PLTU Jeneponto, dan PLTU Tanjung Kasam.

Pada periode yang sama, tercatat aset lancar PLN naik 18%. Yakni dari Rp 58,2 triliun pada 31 Desember 2011, menjadi Rp 68,6 triliun pada 2012. Adapun aset lancar pada 31 Desember 2010 tercatat sebesar Rp 44,8 triliun. Sehingga total jumlah aset PLN pada 2012 sebesar Rp 540,7 triliun, atau naik 16% dari Rp 467,7 triliun pada 2011.

Mulai 1 Januari 2012, PLN telah menerapkan ISAK 8 mengenai penentuan apakah suatu perjanjian mengandung suatu sewa, dan PSAK 30 mengenai sewa terhadap transaksi PPA (Power Purchase Agreement) serta ESC (Energy Sales Contract) dengan IPP (pengembang proyek pembangkit listrik swasta) secara retrospektif.

Perubahan kebijakan ini mengakibatkan sebagian besar kontrak PPA dan ESC tersebut diperlakukan sebagai sewa pembiayaan, sehingga PLN mencatat aset sewaan dan liabilitas sewa pembiayaan atas kontrak dengan IPP tersebut.

(Iksan Tejo / duniaenergi@yahoo.co.id)