JAKARTA – PT Pertamina EP Cepu (PEPC) menargetkan pengerjaan konstruksi proyek Jambaran Tiung Biru (JTB)  rampung pada akhir 2021. Target tersebut mundur dari target awal, yakni pada awal  2021.

Adriansyah, Presiden Direktur Pertamina EP Cepu, mengungkapkan keterlambatan yang diproyeksikan tersebut merupakan estimasi waktu terlama.

“Pengerjaan sekitar tiga tahun, kalau kami paling lambat kuartal IV 2021. Proyek sebesar ini harus bisa mengantisipasi kalau ada delay, kalau paling lambat kan masih bisa lebih cepat,” kata Adriansyah seusai penandatanganan Perjanjian Jual Beli Gas (PJBG) antara PT Pertamina (Persero) dan PT PLN (Persero) di Kantor Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), Senin (13/11).

Proses konstruksi Jambaran Tiung Biru akan dilakukan PT Rekayasa Industri dan JGC Indonesia dengan lama pengerjaan selama tiga tahun.

Penandatanganan perjanjian jual beli gas baru bisa direalisasikan setelah Pertamina resmi mengakuisisi kepemilikan saham Exxonmobil di Jambaran Tiung Biru. Selain PJBG dengan PLN, Pertamina juga melakukan perjanjian yang sama dengan Pertamina EP Cepu pemilik 82,8% saham dan PT Pertamina EP yang menguasai delapan persen saham Jambaran Tiung Biru.

“Pertamina EP Cepu sama Ibu Yenny (Direktur Gas Pertamina) US$6,7 per MMBTU. Lalu PLN beli sama Ibu Yenny harga gasnya US$7,6 per MMBTU,” ungkap Adriansyah.

Pertamina EP Cepu menargetkan pengeboran pertama akan dimulai pada tahun depan dengan mengebor dua sumur dari total enam sumur yang direncanakan. Sisanya, empat sumur dibor pada 2019.

Gas dari enam sumur akan diolah melalui gas production facilities (GPF). Dari rata-rata produksi sebesar 315 MMSCFD – 330 MMSCFD, GPF memisahkan kandungan CO2 dan H2S, sehingga menghasilkan gas yang dapat dijual sebesar 172 MMSCFD.

Adriansyah mengungkapkan seluruh gas Jambaran Tiung Biru diserap seluruhnya oleh Pertamina. “Sama Ibu Yenny kan dijual ke PLN 100 MMSCFD. Nanti yang 72 MMSCFD Ibu yenny yang cari,” kata dia.

Sisa dari hasil pemisahan CO2 sebenarnya bisa dimanfaatkan untuk gas suar atau flaring dan untuk metode Enhance Oil Recovery (EOR). Namun untuk bisa mengimplementasikan tetap dibutuhkan kajian lebih lanjut.

“CO2-nya sementara ini kami sudah peroleh izin untuk flaring. Ada wacana CO2 untuk injeksi EOR, tapi masih wacana,” kata Adriansyah.(RI)