JAKARTA– PT Aneka Tambang (Persero) Tbk (ANTM), badan usaha milik negara di sektor pertambangan, berharap izin ekspor nikel berkadar rendah di bawah 1,7% bisa keluar pada April 2017 sebelum pelaksanaan Rapat Umum Pemegang Saham perseroan akhir April nanti. Tedy Badrujaman, Direktur Utama Antam, mengatakan Antam mengajukan permohonan izin ekspor nikel kepada Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral sebanyak 6 juta ton per tahun.

“Permohonan ekspor nikel kadar rendah dihitung berdasarkan kapasitas smelter yang dimiliki Antam. Sesuai aturan yang ada ditambah dengan rencana ada pabrik. Itu sekarang yang boleh diizinkan untuk diekspor,” kata Tedy.

Beleid ekspor nikel dengan kadar di bawah 1,7% ini dimuat di dalam pasal 4 Peraturan Menteri ESDM Nomor 6 Tahun 2017. Peraturan ini merupakan turunan dari PP Nomor 1 Tahun 2017 Atas Perubahan Keempat PP Nomor 23 Tahun 2010 Tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan Batu bara.

Tedy mengatakan saat ini banyak negara yang berminat untuk menyerap ekspor nikel kadar rendah Antam. Namun, Antam masih menunggu izin dari pemerintah untuk ekspor nikel kadar rendah. “Para buyer dari China, Jepang, dan sejumlah negara di Eropa sudah mencari pasokan ke sini,” katanya.

Hingga kini izin ekspor nikel berkadar rendah belum bisa dilakukan. Pemerintah belum bisa mengeluarkan izin ekspor karena proses verifikasinya belum selesai. Ladjiman Damanik, Ketua Umum Asosiasi Penambang Nikel Indonesia (APNI), mengatakan APNI masih menunggu Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) mengeluarkan rekomendasi ekspor untuk nikel dengan kadar di bawah 1,7%.

Menurut Ladjiman, rekomendasi ekspor ini penting agar keekonomian proyek bisa terpenuhi. Apalagi nikel berkadar rendah tidak bisa dimanfaatkan di dalam negeri karena kemampuan fasilitas pengolahan dan pemurnian (smelter) hanya mampu mengolah nikel berkadar tinggi.

“Sekarang ada enam smelter nikel di Indonesia yang telah beroperasi, kapasitasnya mencapai 400 ribu-500 ribu ton per tahun. Anggota kami juga sedang menuntaskan pembangunan 26 smelter nikel dengan kapasitas lebih daru satu juta ton per tahun,” katanya.

APNI memiliki anggota hingga 100 perusahaan. Total kapasitas produksi dari 100 anggota ini mencapai 10 juta hingga 15 juta ton per tahunnya.

Secara terpisah Bambang Susigit, Direktur Pembinaan Pengusahaan Mineral Kementerian ESDM, menjelaskan pemerintah belum bisa mengeluarkan rekomendasi ekspor nikel. Surat pengajuan dari pengusaha itu masih harus dinilai oleh verifikator independen. Sementara verifikator independen, sampai sekarang belum terbentuk karena Kementerian ESDM masih membahas kriterianya. Pemerintah menargetkan pembentukan verifikator independen bisa selesai dalam bulan ini dan bisa segera menjalankan tugasnya.

“Verifikator independen bertugas  menilai kelayakan dokumen yang diajukan perusahaan tambang untuk mendapatkan izin ekspor sesuai aturan yang telah berlaku,” ujar dia. (DR/RA)