JAKARTA – DPR dan pemerintah menyepakati anggaran biaya operasi yang bisa dikembalikan (cost recovery) pada Rancangan Anggaran dan Pendapatan Belanja Negara (RAPBN) 2017 sebesar US$10,4 miliar. Angka tersebut lebih besar dibanding target 2016 yang ditetapkan sebesar US$8 miliar.

“Komisi VII DPR dapat menyetujui cost recovery untuk RAPBN 2017 sebesar US$10,4 miliar, struktur biaya terperinci akan dibahas bersama SKK Migas saat penyampaian WP&B,” kata Mulyadi, Wakil Ketua Komisi VII DPR RI saat rapat dengan Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), Kamis (22/9).

Luhut Binsar Pandjaitan, Pelaksana Tugas Menteri ESDM, menegaskan pemerintah berupaya untuk terus menekan anggaran cost recovery agar dibawah yang ditetapkan. Untuk itu, Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas (SKK Migas) akan mulai memetakan berbagai komponen dalam struktur pembiayaan yang bisa diefisienkan.

“Saya juga sudah bicara kepada SKK Migas dalam satu minggu ini dipelajari. Saya mau di bawah US$10 miliar tahun depan. Karena menurut saya, banyak cost yang bisa kita turunkan. Kalau itu terjadi, saya melihat di Kementerian ESDM mungkin bisa hemat sampai Rp80 triliun overall,” ungkap dia.

Pengeboran eksplorasi migas

Menurut Luhut, cost recovery memang menjadi isu krusial karena tidak menutup kemungkinan adanya potensi kerugian negara yang besar disana. Untuk itu dengan proses pengawasan yang ketat bisa ditentukan bagian mana saja yang harus diganti dan bagian yang tidak perlu masuk dikomponen pembiayaan.

“Jika perlu SKK Migas cari konsultan untuk menghitung mana yang pantas di cost recovery dan tidak. Sehingga fair. Silakan bule sama bule itu bertempur,” tegas Luhut.

Amien Sunaryadhi, Kepala SKK Migas, mengungkapkan baru bisa membahas rincian biaya dan komponen cost recovery setelah pembahasan WP&B selesai dilakukan pada akhir tahun ini.

“Kita akan sampaikan rincian komponen biayanya setelah pembahasan WP&B rampung pada Desember nanti,” tandas Amien.(RI)