TAHUN baru biasanya disertai dengan apapun yang serba baru. Tidak terkecuali pemerintah Indonesia yang menyiapkan beberapa paket kebijakan baru di awal 2017, utamanya dari sektor minyak dan gas (migas). Belum genap satu semester memimpin sektor energi dan sumber daya mineral, Ignasius Jonan dan duetnya Arcandra Tahar cukup membuat dunia usaha migas gelagapan lantaran adanya perubahan dalam sistem kontrak bagi hasil.

Puluhan tahun nyaman dengan sistem bagi hasil (production sharing contract/PSC) cost recovery, Indonesia akhirnya dipastikan meninggalkan skema yang telah diciptakan dan beralih ke skema PSC gross split. Pada awal diwacanakan sambutan masyarakat bisa dibilang tidak sesuai dengan yang diharapkan pemerintah, pun demikian dengan para pelaku usaha yang bertanya-tanya apa maksud dari digulirkannya rencana yang banyak dianggap terlalu mendadak itu.

Arcandra Tahar si ‘duet maut’ Jonan adalah pencetus ide dan aktor dibalik penerapan gross split. Dengan pengalaman malang melintang di dunia migas internasional lebih dari 20 tahun, terutama Amerika Serikat, dia menilai skema kontrak kerja sama migas yang dianut Indonesia saat ini sudah tidak merepresentasikan keadaan dunia migas sekarang.

Pembengkakan cost recovery menjadi alasan kuat yang diklaim pemerintah untuk segera realisasikan perubahan skema bagi hasil. Laju peningkatan dana yang harus dibayarkan pemerintah kepada kontraktor kontrak kerja sama (KKKS) sebagai pengembalian dan reimburse biaya produksi terus mengalami peningkatan. Hal ini tentu tidak jadi soal jika produksi terus meningkat, tapi kenyatannya produksi migas Indonesia terus merosot. Klaim pemerintah cost recovery tidak hanya masalah gelontoran uang semata namun juga proses pembahasan yang membutuhkan waktu yang panjang sehingga dinilai tidak efisien dari sisi manajeman waktu.

Potensi penyelewangan juga besar dalam skema cost recovery karena kontraktor bisa sesuka hati menggunakan berbagai teknologi dan usaha, lalu mengklaim biaya yang diinginkan karena nantinya akan dibayar negara

“Jadi yang bisa tentukan harga atau biaya teknologi untuk produksi yang digunakan itu siapa? Ya kontraktor, nah nanti SKK Migas debat lagi menentukan harga yang pas,” kata Arcandra pada setiap paparan mengenai alasan panjangnya proses cost recovery.

Pro kontra pun berdatangan sejak rencana gross split digulirkan sekitar empat bulan lalu. Bukan tanpa alasan memang karena pengelolaan industri migas di Indonesia bukan hanya berbicara tentang cost recovery, tapi juga terdapat banyak simpul kusut yang seharusnya dibenahi pemerintah. Misalnya saja, bagaimana dengan kabar perizinan yang masih berbelit?

Memang untuk di sektor ESDM saja, izin sudah jauh dipangkas. Dari 48 izin di direktorat minyak dan gas, kini hanya menyisakan enam perizinan. Ini tentu patut diapresiasi.

Tapi apakah hanya di Ditjen Migas saja? Tentu perizinan lainnya masih ada, misalkan kajian lingkungan yang menjadi domain Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan. Lalu jangan lupakan posisi pemerintah daerah karena dengan keberadaan otonomi, setiap kontraktor diwajibkan meminta izin kepada daerah.

Itu baru izin, belum lagi masalah pengadaan lahan. Bahkan salah seorang pelaku usaha menyatakan sudah mengeluarkan jutaan dolar Amerika Serikat untuk pengadaan lahan, namun setelah dibebaskan justru lahan kosong sudah terisi warga masyarakat.

Izin dan masalah pengadaan inilah yang menjadi momok bagi para pelaku usaha untuk tanamkan investasi nya di Indonesia.

Pri Agung Rakhmanto, pengamat migas dan staf pengajar Universitas Trisakti terang-terangan menyatakan pemerintah sudah terlalu lama terjebak dalam permasalahan angka. Padahal substansi masalah mendasar yang harus dibenahi bukanlah itu.

“Data migas kita minim, lalu izin dan pengadaan lahan juga belum terselesaikan. Masalahnya, itu yang menjadikan risiko usaha di sektor ini sangat tinggi di Indonesia,” katanya.

Suka tidak suka, mau tidak mau pemerintah pada akhirnya tetap meluncurkan skema gross split melalui Peraturan Menteri (Permen) ESDM Nomor 8 Tahun 2017.

Gross split ala Arcandra ini diyakini berbeda dengan skema gross split yang sebenarnya bukan barang baru dalam industri migas.

Dalam skema ini terdapat tiga kategori base split, pertama adalah base split atau dasar patokan perhitungan bagi hasil antara kontraktor dan pemerintah dimana untuk minyak base split adalah 57 persen pemerintah dan sisanya kontraktor. Untuk gas 52 persen pemerintah dan sisanya adalah bagian kontraktor.

Perbedaannya adalah dengan disediakannya paket insentif dalam bentuk penambahan split atau bagi hasil yang akan didapatkan kontraktor. Berdasarkan beberapa indikator yang menjadi kategori split berikutnya, yakni variabel split, di antaranya adalah status wilayah kerja, lokasi lapangan, kedalaman resevoir, ketersediaan infrastruktur pendukung, jenis reservoir, kandungan CO2, kandungan H2S, berat jenis minyak bumi, TKDN pada masa pengembangan lapangan dan tahapan produksi.

Selain 10 variabel tersebut ada juga mekanisme progressive split dengan indikator harga minyak, kapasitas produksi yang dicapai, serta tambahan split berdasarkan nilai keekonomian lapangan.

“Jadi kita sharing the pain sharing the gain, kalau harga minyak naik kita dapat juga dong untung. Nah kalau jatuh kita kasih insentif, kan adil,” kata Arcandra.

Para pelaku usaha industri migas terbesar di Indonesia yang tergabung Indonesia Petroleum Association (IPA) sampai aturan ini diluncurkan tidak terlalu banyak bersuara. Mereka mengaku sebenarnya sudah jauh-jauh hari diikut sertakan dalam penerapan kebijakan. Itu patut diapresiasi karena bukan hal yang biasanya memang. Tapi sepertinya strategi tersebut cukup bisa melunakan perusahaan-perusahaan migas raksasa yang beroperasi di Indonesia.

Majolijn Wajong, Direktur IPA, menyatakan industri sangat setuju gagasan untuk melakukan efisiensi di semua lini usaha. Namun pemerintah diminta tidak hanya berhenti dalam perubahan skema, masih banyak PR yang harus dibereskan pemerintah untuk membuat iklim investasi migas nasional pulih kembali.

“Rencana harus dilanjutkan, jangan hanya berhenti di gross split, kami tunggu kajian bersama dengan Pak Wamen terutama dari sisi EOR dan laut dalam, kan kita arahnya kesana,” kata dia.

Keyakinan para pelaku usaha terhadap skema baru ini memang bisa dilihat setengah-setengah. Maklum saja yang sudah-sudah dalam 10 tahun terakhir kebijakan migas di Indonesia seakan buntu. Terutama setelah dibatalkannya berbagai pasal UU Migas No 22 Tahun 2001 oleh Mahkamah Konstitusi yang menjadikan landasan hukum kegiatan berbisnis usaha emas hitam menjadi memiliki celah besar dan bisa dikatakan cacat hukum.

Belum lagi dengan adanya PP No 79 tahun 2010 tentang cost recovery dan pajak hulu migas yang mengatur kewajiban kontraktor untuk membayar berbagai pajak tambahan saat masa eksplorasi.

Sammy Hamzah, Ketua Asosiasi Pengusaha Indonesia (APINDO) bidang ESDM mengaku hanya bisa pasrah dengan keputusan ini dan berharap pemerintah tidak menutup diri jika memang skema ini tidak berhasil dan segera dievaluasi.
“Bisa dilihat ketika penawaran baru pada Mei mendatang apakah akan menggembirakan atau tidak. Investor melihat kesediaan menteri pak wamen untuk dengarkan, kami apresiasi itu,” kata Sammy.

PT Pertamina (Persero) menjadi kontraktor pertama yang merasakan mekanisme PSC gross split melalui anak usahanya yang mengelola blok Offshore North West Java (ONWJ) yakni PT Pertamina Hulu Energi (PHE) ONWJ) dengan pembagian bagi hasil base dan variabel split untuk minyak yakni sebesar 42,5 persen untuk pemerintah dan 57,5 persen bagian kontraktor.

Untuk gas pemerintah mendapatkan 37,5 persen dan sebanyak 62,5 persen bagian kontraktor.
Kontraktor mendapatkan bagi hasil lebih besar karena biaya semua ditanggung oleh mereka. Namun demikian berdasarkan perhitungan yang ada bagi hasil yang didapatkan pihak kontraktor ternyata tidak serta merta membuat keuntungan yang didapatkan lebih besar.

Gunung Sardjono Hadi, Direktur Utama PHE, menyatakan apa yang didapatkan PHE dengan gross split tidak begitu jauh dari apa yang didapatkan saat PHE ONWJ masih menggunakan skema cost recovery. Bahkan, PHE justru harus meningkatkan efisiensi lebih ekstra jika mau mendapatkan hasil lebih baik ketimbang saat masih menggunakan skema lama.

Belakangan PHE ONWJ justru mengaku ada komponen biaya US$ 453 juta yang belum dibayarkan pemerintah dan seharusnya menjadi tanggungan pemerintah yakni undepreciated cost yaitu pengembalian biaya terhadap investasi untuk barang modal atau peralatan selama pengelolaan blok ONWJ, saat masih menggunakan skema cost recovery.
Menurut Gunung, jika tidak ditanggung maka pembengkakan cost dipastikan terjadi dan ini seharusnya bisa mempengaruhi perhitungan pembagian split.

“Besaran undepreciated cost adalah akumulasi dari beberapa tahun pengadaan barang atau peralatan yang dilakukan oleh PHE saat masih menggunakan skema cost recovery yang terakumulasi setiap tahun hingga angkanya mencapai US$ 453 juta,” kata dia.

Tidak hanya itu, gross split pada awal penerapannya ini juga meninggalkan lubang besar di sektor perpajakan. Hingga kini para kontraktor masih tidak mengerti bagaimana dengan sistem perpajakan yang diatur dalam gross split. Apalagi sampai saat ini juga revisi PP 79/2010 belum kunjung ditandatangani Presiden Joko Widodo.

Menurut Arcandra, meknisme perpajakan dalam gross split mengikuti regulasi pajak yang ada saat ini. “Kita ikut regulasi pajak yang ada,” katanya.

Itu berarti masih harus menunggu hasil revisi PP 79 dan artinya lagi perhitungan bagi hasil bisa saja berubah. Kontraktor diperbolehkan untuk mengklaim perubahan split jika memiliki alasan yang kuat dan bisa dipertanggungjawabkan.

Bagaimanapun juga tidak ada yang bisa menjamin kesuksesan skema gross split dalam waktu satu dua tahun ke depan, terutama untuk mencapai tujuan utama yakni peningkatan eksplorasi serta produksi migas nasional. Mari kita lihat apakah gross split bisa membawa untung atau justru buntung.*