INDUSTRI otomotif sedang mencari alternatif terbaik sebagai pengganti bahan bakar minyak. Selain menggunakan tenaga listrik, bahan bakar hidrogen (fuel cell), juga dianggap sebagai pilihan utama. Tapi, masih banyak kendala dalam pengembangan teknologi fuel cell.

Peraturan Pemerintah Nomor 79 Tahun 2014 tentang Kebijakan Energi Nasional menyebutkan sumber energi baru adalah sumber energi yang dapat dihasilkan oleh teknologi baru, baik yang berasal dari sumber energi terbarukan maupun sumber energi tak terbarukan, antara lain nuklir, hidrogen, gas metana batu bara (coal bed methane), dan batu bara tercairkan (liquefied coal, dan batubara tergaskan (gasified coal).

Peraturan tersebut juga menyebut pemanfaatan sumber daya energi nasional dilaksanakan pemerintah dan atau pemerintah daerah mengacu pada strategi pemanfaatan sumber snergi baru berbentuk cair, yaitu batu bara tercairkan (liquefied coal) dan hidrogen untuk transportasi.

Namun pemberlakuan peraturan tersebut tidak membuat penggunaan bahan bakar fosil berkurang. Memang sudah saatnya dipikirkan mencari pengganti bahan bakar minyak (BBM). Merujuk pada PP diatas, teknologi fuel cell bisa menjadi salah satu alternatif. Namun entah kapan realisasinya.

Diversifikasi

Dalam kaidah umum energy security, disebutkan semakin bervariasi sumber pasokan energi (pemasok energi) maka keamanan energi akan semakin tinggi. Terdapat beberapa jenis bahan bakar alternatif BBM di sektor transportasi, misalnya Bahan Bakar Gas (CNG, LNG, LPG), listrik, biofuel (biodiesel dan bioethanol), dan hidrogen.

Di beberapa negara, semua jenis bahan bakar alternatif ini telah memasuki tahap komersial dan terus berkembang, baik dari jumlah stasiun pengisian maupun dari jumlah kendaraan pengguna yang beroperasi. Sejumlah manufaktur mobil juga mengeluarkan varian kendaraan berbahan bakar alternatif.

Peran pemerintah sangat dibutuhkan untuk memberikan support di sisi pasokan dan di sisi demand. Di sisi pasokan, stasiun pengisian bahan bakar alternatif perlu dibangun dan diperbanyak. Di sisi permintaan, pemerintah dapat memandatkan manufaktur mobil di Indonesia untuk mengeluarkan varian kendaraan berbahan bakar alternatif seperti berbahan bakar hidrogen.

Sumber energi alternatif sudah lama dipresentasikan untuk segera dipakai. Bahkan Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) menargetkan pada 2020 mendatang penggunaan energi alternatif sudah mencapai lima persen.

Kebijakan ihwal energi alternatif pun tak kalah banyak. Dari sisi teknologi dan ketersediaan bahan baku juga sudah tak diragukan lagi.

Salah satu teknologi yang ditawarkan adalah FCV (Fuel Cell Vehicle) yang berbahan bakar dasar hidrogen. FCV (Fuel Cell Vehicle) beroperasi menggunakan tenaga listrik yang dihasilkan dari reaksi kimia antara bahan bakar hidrogen dan oksigen. Mobil ini hanya menghasilkan emisi berupa air, hingga disebut sebagai inovasi paling canggih dalam otomotif. FCV (Fuel Cell Vehicle) menghasilkan energi listrik tanpa adanya pembakaran dari bahan bakarnya, sehingga tidak ada polusi. Bahkan Desainer Toyota Mirai Seiji Mizuno pernah menyatakan bahwa air hasil buangan knalpot Mirai lebih aman untuk diminum daripada susu. Air tersebut dihasilkan dari pembakaran mesin, karena Mirai memiliki sumber tenaga dari hidrogen.

Raksasa otomotif dunia itu sudah melakukan pengujian efek kesehatan bila meminum air pembuangan tersebut di laboratorium khusus. Faktanya, air dari hasil pembakaran Mirai mengandung kotoran organik yang jauh lebih sedikit dibandingkan susu.

FCV versus Baterai

Berbeda dengan baterai, FCV (Fuel Cell Vehicle) tidak hanya menyimpan tetapi juga menghasilkan energi listrik secara berkesinambungan selama masih ada pasokan bahan bakar. FCV juga tidak bising, hampir tak menghasilkan bahan pencemar sama sekali, serta banyak pilihan bahan bakar.

Pengembangan FCV terkendala proses menghasilkan hidrogen. Walau hidrogen merupakan unsur yang paling banyak terdapat di alam semesta namun keberadaannya terikat sebagai senyawa oksida. Maka untuk menghasilkan gas hidrogen diperlukan tenaga listrik yang sebagian besar dihasilkan dari sumber energi penyebab polusi.

Hal lain yang bisa menjadi kendala FCV (Fuel Cell Vehicle) adalah harga jual yang tinggi. Pertama karena model tersebut masih impor dari negara asal dengan pajak bea masuk yang tinggi. Lalu, belum ada regulasi khusus untuk keringanan pajak mobil ramah lingkungan di Tanah Air. Sebagai contoh, Prius di Indonesia dijual dengan harga sekitar Rp 500 jutaan. Padahal secara produk mobil tersebut berada di segmen sama dengan Yaris.

Tidak hanya kendala, pengembangan FCV juga memiliki sejumlah tantangan. Salah satunya adalah bagaimana mengemas mesin berbahan bakar hidrogen tersebut, pada sebuah mobil yang memiliki target performa di level tertentu,

Tantangan produsen mobil berbahan bakar hydrogen adalah menargetkan bisa menjual mobil berzero-emission di semua wilayah. Saat ini, wilayah yang jadi sasaran khusus seperti, London, Paris, Los Angeles, dan Tokyo.

Pemerintah daerah di kota tersebut, mulai memperkenalkan kontrol emisi yang ketat, yang mencakup pelarangan mesin konvensional diesel dan bensin dari pusat kota. Bahkan di London, Dukungan dana sebesar 11 juta poundsterling diguyur pemerintah setempat guna mendukung kendaraan hydrogen dengan subsidi Rp. 400 juta per unit.

Kebutuhan Infrastruktur

Jika hidrogen digunakan sebagai bahan bakar maka kebutuhan infrastruktur untuk pendistribusian hidrogen ke tempat penggunanya harus dibangun. Bisa juga membangun tempat pengisian ulang bahan bakar beserta dengan pembangkitnya sekaligus. Inilah yang banyak dilakukan di sejumlah negara maju yang sudah mengaplikasikan hidrogen sebagai bahan bakar kendaraan.

Di banyak negara maju, teknologi fuel cell bukan barang baru lagi. Negara seperti Amerika Serikat (AS), Jepang, Jerman atau Inggris telah mengembangkan teknologi ini sejak lama. Di negara ini yang menjadi pemicu pemakaian hidrogen sebagai bahan bakar kendaraan adalah isu lingkungan dan konservasi energi. Mobil fuel cell berusaha memisahkan atom hidrogen menjadi proton dan elektron. Dengan memakai elektron sebagai arus listrik, digabungkan proton dengan oksigen dari udara, sehingga hasil sampingnya hanya uap air.

Untuk menghasilkan tenaga penggerak mobil diperlukan rangkaian yang terdiri dari beberapa stack fuel cell. Tetapi berkendara di atas tangki hidrogen mampat amat tidak nyaman dibanding dengan di atas tangki bensin. Mobil hidrogen ini rata rata dapat menempuh jarak hampir 500 kilometer sebelum harus mengisi ulang bahan bakar selama 3 menit.
Selain ada kendala di bidang kenyamanan, mobil hidrogen ini relatif mahal, yakni sekitar US$60 ribu atau diatas Rp700 jutaan, sumber dari beberapa pabrikan.

Hidrogen dianggap sebagai energi alternatif paling ideal karena hidrogen merupakan bahan universal dengan jumlah tak terbatas dan yang jelas ramah lingkungan.

Kebijakan Pemerintah

Di Korea, pabrikan Hyundai akan menjaga harga SUV barunya tersebut di angka 60 juta won atau Rp 672,7 juta, dan berharap konsumen dapat membeli kurang dari 40 juta won atau Rp 448,5 juta, dengan bantuan subsidi pemerintah untuk kendaraan ramah lingkungan. Bagaimana di Indonesia?

Kebijakan di bidang energi alternatif memang sudah cukup banyak. Kita harus mengajak semua pihak yang berkepentingan untuk mendiskusikan langkah kebijakan apa yang perlu diambil demi terealisasinya aplikasi teknologi tersebut. Masalah adalah: apabila di negara maju yang sudah berhasil mengaplikasikannya tetapi di Indonesia masih dibutuhkan jalan panjang dan berliku. Kita harus memiliki target untuk menjadi pengguna mobil hidrogen terbesar di Asia Tenggara, atau menjadi masyarakat hidrogen. Meskipun untuk mencapai tujuan tersebut harus mengeluarkan dana dan kesulitan teknis yang tinggi.(***)