smelter nikel

Proses peleburan bijih di smelter nikel.

JAKARTA – Ketua Umum Asosiasi Metalurgi dan Mineral Indonesia (AMMI) Ryad Chairil menegaskan, tidak benar statemen yang menyatakan Indonesia belum punya teknologi dan tenaga ahli pengolahan mineral tambang. Maka dari itu, setelah terbitnya Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 01 Tahun 2014, pemerintah harus segera menyiapkan crash program pengolahan dan pemurnian mineral di dalam negeri.

PP 01/2014 yang diterbitnya pada 12 Januari 2014, berisi larangan terhadap kegiatan ekspor bijih mineral tambang. Pasca terbitnya PP ini, kata Ryad, pemerintah harus mengurangi ketergantungan teknologi dari luar, dan belajar dari negara Cina ketika melakukan penguasaan teknologi tersebut.

Beberapa lembaga riset, seperti LIPI Lampung, sudah menginisiasi membuat produk Blast Furnace (pengolahan bijih besi dan nikel, red). Lembaga Teknologi Mineral dan Batubara (Tekmira) juga berhasil membuat Rotary Kiln (pengolahan nikel, red). Kedua teknologi itu adalah teknologi pemurnian mineral.

“Pemerintah harus mendukung kedua lembaga tersebut dan membuka jalan agar teknologinya dipakai di dalam negeri. Pihak perbankan nasional membantu dari sisi pendanaan dan pemasaran,” tukas Ryad Chairil di Jakarta, Senin, 13 Januari 2014.

Ia juga menjelaskan, Indonesia punya banyak tenaga ahli dan praktisi pengolahan dan pemurnian mineral, yang tersebar di Jakarta, Bandung, Tanggerang, Surabaya dan daerah lainnya. Para ahli dan praktisi tersebut banyak melakukan penelitian, dan menciptakan berbagai prototype teknologi pengolahan dan pemurnian mineral.

“Jadi pemerintah tidak perlu mencari teknologi pengolahan dan pemurnian mineral ke luar. Teknologi itu ada di dalam negeri, dan dikuasai anak bangsa sendiri. Sayangnya, hasil penelitian tersebut, selama ini hanya tersimpan di perpustakaan dan laboratorium, karena kebijakan nasional yang tidak mendukung,” kata Ryad lagi.  

“Jadi tidak benar jika ada pihak yang mengatakan bahwa bangsa Indonesia tidak p unya keahlian teknologi pengolahan serta manajemen pengelolaan pabrik peleburan besar,” bantah Ryad Chairil.

Menurutnya, hampir semua pabrik peleburan besar yang ada di Indonesia seperti Krakatau Steel, Smelting Gresik, Antam, Timah, Inalum, dan lain-lain, termasuk yang dimiliki asing seperti Inco serta pabrik peleburan baja dan logam lainya yang tersebar di seluruh Indonesia, dikuasai dan dikelola oleh anak bangsa sendiri.

“Selama ini, mereka tidak terlihat oleh saudaranya sendiri dikarenakan kebijakan nasional yang tidak mendukung tumbuh kembangnya industri logam nasional,” tandasnya.

Selain itu, AMMI meminta, dalam hal pemerintah mengizinkan teknologi luar digunakan untuk pengolahan dan pemurnian mineral, maka teknologi tersebut terlebih dahulu dilakukan audit oleh lembaga yang berwenang seperti BPPT. Audit teknologi penting dilakukan dalam rangka menjaga serta melindungi kepentingan umum dan lingkungan.

“Namun secara administratif maupun teknis, audit teknologi itu harus efisien dan akuntabel. Jangan menciptakan proses perizinan baru yang berbelit-belit,” tambahnya. Jika diperlukan, kata dia, AMMI mempunyai sumber daya manusia yang siap membantu pelaksanaan audit teknologi tersebut.

Pemerintah, imbuhnya, perlu memberikan insentif kepada perusahan, yang berkomitmen melakukan pengolahan dan pemurnian dalam negeri, baik berupa fiskal maupun kemudahan dalam memproses perizinannya. Pihak perbankan nasional bisa diminta mendukung proyek pengolahan dan pemurnian mineral tersebut.

“Jika ini semua bisa dilaksanakan, maka kita bisa berharap kedepan, Indonesia akan menjadi bangsa yang maju dengan struktur industri logam yang kuat, yang mensejahterakan bangsa dan memakmurkan rakyat Indonesia, sesuai dengan amanah Konstitusi kita,” pungkas Ryad Chairil.

(Iksan Tejo / duniaenergi@yahoo.co.id)