JAKARTA – PT Pertamina (Persero), badan usaha milik negara di sektorenergi terintegrasi, memproyeksikan rasio cadangan migas atau reserve replacement ratio (RRR) tumbuh200– 400% per tahununtuk memenuhi kebutuhan energi nasional. Penurunan produksi alamiah (decline) dan anjloknya harga minyak dunia menjadi tantangan terbesar Pertamina saat ini.

 

Bambang Manumayoso, Ketua Tim Tata Kelola (Tranformasi) Upstream Pertamina, mengatakan berbagai upaya dilakukan, tidak hanya bisa bertahan saat ini, namun juga bagaimana tetap bisa bertumbuh ke depannya. Hal ini dilakukan karena Pertaminan secara korporasi merupakan kepanjangan tangan pemerintah yang harus mengamankan energi nasional.

“Secara korporasi Pertamina adalah Indonesian Flag Carrier. Pertamina yang menurut undang-undang, satu-satunya yang harus men-secure energi nasional, baik migas maupun geothermal,” kata Bambang.

Menurut dia, upaya yang dilakukan Pertamina saat ini adalah menahan penurunan produksi dengan menggunakan teknologi tepat guna. Selain itu, Pertamina juga harus terus melakukan eksplorasi. Karena tanpa itu, tidak akan mampu menggantikan maupun menambah cadangan yang sudah diproduksikan.

“Strategi Direktorat Hulu secara korporasi sudah sangat jelas, bahwa bagaimana caranya produksi migas hulu harus bisa naik, dan reserve replacement ratio (RRR) juga harus naik sehingga reserves yang sudah diproduksikan harus diganti dengan reserves baru yang lebih tinggi, sehingga perusahaan bisa lebih panjang hidupnya, untuk itu kami sebagai salah satu Anak Perusahaan Hulubertekat untuk mengejar target tersebut,” kata Bambang yang juga Direktur Pengembangan PT Pertamina Hulu Energi.

Pertamina memproyeksikan pertumbuhan produksi migas 8% per tahunsepanjang 2015-2030. Pada periode 2010-2015, performance produksi migas perseroan rata-rata tumbuh 6% per tahundengan cadangan migas rata-rata meningkat 4,4% per tahun.

Bambang mengatakan dampak yang rasional dari penurunan harga minyak ada pada biaya produksi per barel, karena belanja modal danoperasional tinggi, hingga produksi menjadi turun. Jika pada Agustus 2014, harga minyak masih sekitar US$70 per barel, pada Februari 2016 harga anjlok hingga mencapai US$26-US$27 perbarel.  “Pertamina memiliki tantangan besar. Namun dengan berbagai upaya yang dilakukan Pertamina tetap bisa survive,meski keuntungan yang diperoleh juga menurun,” kata dia.(RI/AT/DR/HT)