JAKARTA – PT Adaro Energy Tbk (ADRO) mulai tahun ini meningkatkan perhatian terhadap pengembangan coking coal atau batu bara berkalori tinggi. Adaro menganggarkan hampir setengah belanja modal 2018 untuk pengembangan coking coal.

David Tendian, Direktur Keuangan Adaro Energy, mengungkapkan dari alokasi belanja modal sekitar US$750 juta, paling tidak US$300 juta ditujukan untuk bisnis coking coal yang saat ini berada di bawah pengelolaan anak usaha perseroan, PT Adaro Metcoal Companies (AMC). Sisa belanja modal dialokasikan untuk investasi alat berat.

“Alokasi capex kira-kira US$750 juta. Dua yang mayoritas (coking coal dan alat berat), kira-kira US$200 juta-US$300 juta (coking coal),” kata David saat ditemui seusai konferensi pers  Adaro di Jakarta, Selasa (23/4).

AMC adalah kelompok yang meliputi tujuh perusahaan pemegang PKP2B untuk tujuh wilayah konsesi di Kalimantan Tengah dan Timur yang telah diakuisisi sepenuhnya oleh Adaro dari BHP Billiton dan memiliki cadangan 1,35 miliar ton.

Priyadi,  Direktur AMC, mengungkapkan pada tahun ini ditargetkan ada pertumbuhan produksi coking coal menjadi satu juta ton. Pada 2017, produksi tercatat sebesar 740 ribu ton yang diekspor ke pelanggan di Eropa, India, Jepang, China serta pelanggan domestik.

Garibaldi Thohir, Direktur Utama Adaro Energy, mengatakan coking coal adalah bisnis yang berbeda dengan batu bara biasa yang dimanfaatkan untuk kepentingan bahan baku pembangkit listrik. Contoh penggunaan coking coal  atau batu bara kokas adalah untuk industri baja.

Dia menuturkan, tidak tertutup kemungkinan  Indonesia suatu saat akan berkembang dan berubah pertumbuhannya menjadi negara industri sehingga kebutuhan akan baja dipastikan akan meningkat.

“Suatu saat nanti saya yakin Indonesia akan transformasi. Tadinya negara agraris, terus Pak Jokowi tentukan sekarang kita negara maritim, pasti suatu saat jadi negara industri. Kalau itu terjadi, kita butuh pabrik baja. Pabrik baja tidak akan jadi kalau tidak ada coking coal,” ungkap Garibaldi.

Seiring dengan kemajuan dan pertumbuhan industri baja nasional,  Adaro diharapkan juga bisa memberikan kontribusi akan kebutuhan bahan baku industri tersebut. Salah satu pabrikan baja terbesar di Indonesia adalah PT Krakatu Steel, yang mana pasokan bahan baku coking coalnya rata-rata dipenuhi justru dari luar negeri.

“Sekarang juga kami melihat, kayak Krakatau Steel itu masih impor batu bara kokas dari luar negeri. Ke depannya kenapa tidak dari batu bara kita yang dari Kalimantan tengah,” tandas Garibaldi.(RI)