JAKARTA – PT Perusahaan Gas Negara (Persero) Tbk (PGAS) mengeluhkan terbatasnya pasokan gas untuk bisa didistribusikan guna memenuhi kebutuhan domestik. Untuk mendapatkan alokasi gas dari pemerintah, PGN harus terlebih dulu mengantri dan menunggu sektor lain terpenuhi kebutuhannya.

“Sekarang ini kita harus menunggu dulu setelah lifting minyak, listrik, pupuk setelah itu industri. Kalau itu sudah terserap semua baru kita dapat alokasi,” kata
Jobi Triananda Hasjim, Direktur Utama PGN.

Dia berharap regulasi baru yang sedang disusun, yakni Revisi Undang-Undang Minyak dan Gas bisa memperbaiki kondisi tersebut. Apabila diberikan pasokan gas lebih besar, PGN bisa dengan secara masif membangun infrastruktur penyaluran gas yang dengan sendirinya akan melahirkan pasar konsumen gas. Secara otomatis akan ikut menggerakan industri.

“Selama ini infrastruktur yang mengembangkan market, bukan sebaliknya. Kalau ada pipa gas industri pasti juga bertanya dimana ada jaringan pipa disana dia kembangkan usahanya,” ungkap Jobi.

Konsep pengembangan tata kelola gas di tanah air juga diharapkan bisa diubah. Agar lebih efisien, pengembangan kawasan industri seharusnya berlokasi di dekat wilayah sumber gas. Konsep ini juga yang saat ini coba diupayakan industri dalam memenuhi kebutuhan listrik yakni dengan membangun kawasan industri di sekitar sumber listrik atau pembangkit.

“Selama ini mungkin antara supply dan demand tidak match. Dimana bikin kawasan industri yang butuh jaringan pipa 300 km, kenapa tidak bikin di dekat jaringan pipa kita atau kalau long term kasih kita waktu untuk pasang infrastruktur,” kata Jobi.

Meskipun mendapat alokasi gas terbatas, PGN tetap berkomitmen untuk terus mengembangkan bisnis. Salah satunya dengan berbagai realisasi program pengembangan yang sudah dicanangkan perusahaan.

Untuk tahun ini PGN mengembangkan infrastruktur pipa transmisi gas bumi West Natuna Transmission System (WNTS) ke Pulau Pemping, Provinsi Kepulauan Riau. Lalu, PGN juga mengembangkan pipa gas bumi di Muara Karang-Muara Bekasi sepanjang 42 km, pengembangan infrastruktur gas bumi di Gresik, Jawa Timur.

PGN juga membangun jaringan pipa distribusi gas bumi di Pasuruan, Mojokerto dan menambah jumlah pengguna gas bumi terutama di sektor industri di berbagai wilayah eksisting PGN.

Saat ini PGN telah membangun dan mengoperasikan infrastruktur pipa gas bumi sepanjang lebih dari 7.270 km. Infrastruktur PGN ini setara dengan 80% pipa gas bumi hilir seluruh Indonesia.

Dari infrastruktur pipa gas bumi tersebut, PGN mengalirkan gas ke 1.652 pelanggan industri dan pembangkit listrik, sebanyak 1.929 pelanggan komersial (hotel, restoran, dan rumah makan) dan Usaha Kecil, serta mengalirkan gas ke 204.000 pelanggan rumah tangga.

“Pelanggan PGN tersebut tersebar di 19 kota di 12 provinsi,” tandas Jobi.

Peran Lebih

Jobi mengungkapkan revisi Undang-Undang Migas seharusnya juga memasukkan konsep pengembangan infrastruktur gas seiring peningkatan kebutuhan gas. PGN menjadi institusi yang bisa mengemban tugas tersebut karena secara rekam jejak sejak terbentuk fokus  untuk memgembangkan infrastruktur gas nasional.

“Kami sejak lahir 52 tahun lalu fokus hanya mengembangkan infrastruktur dalam negeri,” kata Jobi.

DPR melalui Badan Legislatif (Beleg) telah memanggil PGN untuk dimintai pendapat dan masukan dalam penyusunan revisi UU Migas. Salah satu masukan utama yang disampaikan PGN adalah memberikan peranan atau kewenangan lebih besar kepada PGN untuk bisa mengembangkan infrastruktur gas di Indonesia.

“Kami bicara ke Baleg, sayang loh perusahaan yang sudah bertahun-tahun mengurus gas bumi kemudian tidak berkembang. Kita maunya lebih kuat dari posisi yang ada sekarang,” tegas Jobi.

Salahsatu implementasi peranan lebih yang diminta PGN dimasukan dalam RUU Migas adalah dengan adanya konsep perencanaan terpadu dalam pembangunan infrastruktur gas.

Jobi mencontohkan peranan yang dilakukan PT PLN dalam menyusun roadmap pembangunan infrastruktur ketenagalistrikan melalui Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) yang dinilai bisa diimplementasikan di sektor hilir gas.
“Kita terlalu liberal di industri gas, anda punya uang anda punya alokasi gas anda bisa jualan gas,” kata dia.

Menurut Jobi, pengembangan infrastruktur ketenagalistrikan lebih tertata karena penyusunan roadmap pengembangan dilakukan h pelaku usaha dibawah pengawasan negara. Kondisi yang ada sekarang justru pengembangan infrastruktur gas justru dilepas begitu saja ke swasta. Dengan begitu akan sulit bagi pemerintah untuk melakukan pengawasan karena swasta pasti memiliki pertimbangan untung rugi dalam berinvestasi.

“Nah ini mau bagaimana pemerintah, mau dibiarkan liberal tapi infrastruktur tidak terbangun atau mau dikelola dulu dengan BUMN. Infrastruktur terbangun di mana-mana baru diliberalisasi,” tandas Jobi. (RI)